Rabu, 14 November 2012

Bahaya pemakaian earphone / headset bagi telinga dan otak.

Earphone / headset ,siapa sih yang tak tau dengan benda ini ? ,
Earphone biasa di gunakan untuk mendengarkan musik ataupun menelpon ,agar langsung terdengar pada telinga kita.
Bahkan earphone juga sering digunakan untuk menutupi suara bising yang ada di sekitar.

Akan tetapi cara itu salah dan dapat merusak fungsi dari telinga kita.
Untuk informasi selanjutnya ,akan saya jelaskan dibawah ini , chekidot !

Telinga manusia ternyata memiliki
struktur dan fungsi yang luar biasa.
Selain proses menghantarkan bunyi
sehingga kita bisa mendengar, di
dalam telinga juga terdapat proses
untuk mengurangi paparan bising.
Secara otomatis, telinga memiliki
kemampuan untuk meredam suara
yang keras menjadi tidak bermasalah
bagi pendengaran.

Namun, telinga
juga memiliki batas kemampuan
untuk mendengar, sehingga dosis
atau batas berapa lama ia boleh
terpapar bunyi tertentu tidak boleh
melebihi dosis.
Misalnya, untuk bunyi letusan
senapan yang memiliki intensitas
sekitar 110 desibel dan frekuensi yang
cukup tinggi, telinga hanya boleh
terpapar tidak lebih dari 30 detik.
Lebih dari itu, maka risiko terjadinya
penurunan fungsi pendengaran atau
trauma bising akan menjadi lebih
besar.

Intinya, telinga memiliki kemampuan
yang terbatas untuk mendengar suara
pada intensitas tertentu. Semakin
tinggi intensitasnya, telinga hanya
boleh mendengar dalam waktu
singkat. Dosis ini berlaku untuk semua
usia.

Beberapa tempat atau kegiatan
tertentu ternyata juga memiliki
intensitas dan frekuensi bunyi yang
bisa membahayakan pendengaran
jika terlalu lama terpapar.
Bahkan, referensi menunjukkan
bahwa pusat-pusat kebugaran yang
kerap memutar musik dengan volume
tinggi juga menyimpan risiko
terjadinya trauma bising bahkan
ketulian. Profesi sebagai pilot atau
mereka yang bekerja di bandara
berisiko lebih besar. Karena, bising
pesawat terbang memiliki intensitas
yang sangat besar, yaitu 145 desibel.

Coba bandingkan dengan bunyi
letusan senapan di atas.
Kenapa? Jika intensitas suara lebih dari dosis yang diperkenankan, maka akan terjadi gangguan pada rumah siput (choclea), dimana di sini terjadi
proses perubahan energi mekanik
menjadi energi listrik. Sel-sel rambut
getar yang harusnya mentransimi
suara mekanik menjadi rusak.

Bentuk rumah siput kita unik, seperti
bentuk dua setengah lingkaran.
Frekuensi tinggi ada di sebelah kiri,
dan rendah di kanan. Jadi, kebalikan
dari piano. Nah, rambut getar
bertugas mengubah bunyi sesuai
dengan frekuensinya, baik tinggi,
sedang atau rendah.

Lifestyle yang modern juga sangat
berpengaruh terhadap kesehatan
pendengaran. Belum lagi lingkungan
kita yang ternyata penuh dengan
kebisingan.

Sebagai contoh, pusat permainan di
mal-mal yang ternyata sangat bising.
Sebuah penelitian menunjukkan
bahwa bising ruangan di tempat
tersebut berkisar antara 40-60 desibel.
Ini cukup tinggi. Anak yang bermain di
tempat tersebut mempunyai paparan
bising yang besar, sehingga ada risiko
menderita trauma bising atau
gangguan pendengaran akibat bunyi
yang sangat keras (noise-induced
hearing loss).

Demikian juga dengan pemakaian
headset, earphone, MP3 atau MP4
player, dan perangkat pemutar musik
portabel lainnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ketika alat pemutar musik digital yang
disambungkan dengan earphone
diputar pada volume optimal atau
maksimal (intensitas sekitar 100
desibel), telinga hanya boleh terpapar
maksimal 5 menit per hari.

Pada volume 90 persen (90 desibel)
hanya boleh terpapar selama 18
menit. Pada volume 80 persen (80
desibel), hanya boleh 1,2 jam dosis
maksimal per hari. Dan, pada volume
70 persen (70 desibel), hanya boleh
sekitar 4,6 jam maksimal per hari.

Lebih dari itu, risiko terjadinya trauma
bising akan lebih besar. Jadi,
sebaiknya dipakai pada volume
rendah karena akan lebih aman.
Ingat dengan pepatah yang
mengatakan, “if it is too loud you are
too old?” Semakin sering kita mendengar bunyi yang terlalu keras, maka usia kita akan jauh lebih dari usia sesungguhnya karena pendengaran kita terganggu .

Fakta menarik lain adalah orang-
orang dengan trauma bising ternyata
lebih sering mengalami gangguan
pendengaran khususnya pada
frekuensi tinggi.

Gambaran audiometrik rekam
pendengarannya menunjukkan
gambaran takik (notch/penurunan)
pada frekuensi 4000 Hertz. Ini yang
membuat orang awalnya tidak
merasa, karena frekuensi
pembicaraan kita sehari-hari ada di
antara 500 – 2000 Hertz. Sehingga,
ketika mengobrol biasa, rasanya tidak
ada gangguan.

Baru setelah dilakukan
pemeriksaan, diketahui terjadi
penurunan yang tajam pada frekuensi
4000 Hertz. Sebagian besar kasus
gangguan pendengaran akibat bising
ditemukan pada saat medical check
up.

Tentu, jika ini tidak segera ditangani,
penurunan pendengaran akan terjadi
di semua frekuensi, tak hanya pada
frekuensi tinggi 4000 Hertz. Kalau
tadinya hanya di 4000 Hertz, lama-
lama terjadi takik di semua frekuensi
alias tuli.

Tips

Lebih baik kita rajin
membersihkan telinga dari ear wax
agar tidak infeksi.

Dengan mengetahui bahaya
penggunaan headset [earphone]
diatas, mudah-mudahan bisa
menjadi peringatan buat kita agar
tidak terlalu sering menggunakan
headset/earphone .
Lebih baik
langsung pake spiker, kan lebih
puas tuh dengernya. :)

Sekian dan Terimakasih.


Bahaya mengkonsumsi mie instan dan tips cara menyajikannya.

Mie instan ? , mungkin sudah tidak asing lagi dengan makanan yang satu ini, mulai dari orang di perkotaan bahkan sampai di pelosok desa. Mungkin karena mereka menganggap mie instan itu cepat dan praktis dalam penyajiannya.
Pada saat persediaan bahan pokok dirumah sudah habis ataupun tidak ada makanan ,tak sedikit orang-orang memilih mie instan sebagai pengganjal rasa lapar.  Terutama mereka para perantau yang hidup jauh dari orang tua.

Mie instan memang enak kalo dinikmati sambil menonton tv ,ataupun pada saat keadaan hujan dll. ,karena mie instan sifatnya praktis sehingga bisa dinikmati dimana-mana.
Bahkan sampe-sampe hanya diseduh dengan air panas dalam mangkok. .

Tapi , taukah anda kandungan apa saja yang ada dalam mie instan ? , saya akan mencoba menjabarkan , chekidot !

Kandungan mie instan.

Mie dibuat dari campuran tepung ,
minyak sayur , garam , dan beberapa
bahan aditif seperti natrium
polifosfat (berfungsi sebagai
pengemulsi/penstabil ) , natrium
karbonat dan kalium karbonat yang
berfungsi sebagai pengatur
asam .Selain itu , mie juga
ditambahkan zat pewarna kuning
(tartrazine).

Selain mie itu sendiri , ada pula
bumbu mie yang banyak
mengandung garam , cabe , dan
bumbu-bumbu lain . Bumbu mie
instan juga tak lepas dari zat aditif
makanan seperti MSG (monosodium
glutamat) yang berfungsi sebagai
penguat rasa .

Kandungan-kandungan yang
berbahaya tersebut sangat tidak baik
dikonsumsi oleh tubuh. Apalagi jika
kita mengkonsumsi mie instan
dalam waktu yang lama dengn
intensitas yang sangat tinggi .
Pastinya penyakit akan mudah dan
hinggap di tubuh kita .

Bukannlah menakut -nakuti tetapi
pilihan hidup sehat masih terbuka
luas. Sayuran hijau masih banyak
yang bisa kita konsumsi. Lebih baik
mengkonsumsi sayuran yang
banyak daripada mengkonsumsi
mie instan yang banyak . Jika kita
terlalu banyak mengkonsumsi mie
maka bahaya makan mie instan
tidak dapat kita hindari
Bahaya Makan Mie Instan.

Beberapa penyakit berikut ditengarai
akibat terlalu banyak makan mie
instan.

Penyebab kanker

Mie instan yang beredar saat ini ,
ternyata cukup membahayakan .
Telah diketahui bahwa permukaan
mie instan dilapisi oleh lilin . Inilah
kenapa mie tidak pernah lengket
satu sama lain .
Lilin ini sangat membahayakan
kesehatan tubuh , karena tubuh kita
butuh waktu lama untuk mencerna
lilin ini, yakni sekitar dua hari.
Jika zat ini terus menumpuk dalam
tubuh, kemungkinan kita untuk
terkena penyakit kanker sangatlah
tinggi . Misalnya , kanker hati, usus ,
atau leukimia . Tak hanya lilin dari
mie instan. Bumbunya pun yang
mengandung banyak zat aditif
seperti MSG yang bisa menjadi
pemicu kanker dalam tubuh .
Banyak kasus nyata tentang orang
yang sakit dan diduga disebabkan
karena terlalu banyak
mengkonsumsi mie instan . Karena
itu, sebaiknya Anda pun mulai
mengurangi mengkonsumsi
makanan ini.

• Chinese restaurant syndrome

Bahaya makan mie instan yang satu
ini lebih mirip keracunan . Hal ini
disebabkan oleh MSG yang terdapat
pada bumbu mie instan .
Ada beberapa orang yang tidak
tahan dengan MSG , lalu kemudian
merasa pusing dan sesak nafas .
Namun penyakit ini tidak terlalu fatal,
karena akan sembuh setelah 2 - 3
jam kemudian.

• Kerusakan jaringan otak

Mengkonsumsi mie instan terus -
menerus sama dengan menumpuk
zat- zat kimia berbahaya dalam
tubuh dan efeknya bisa merusakkan
sel-sel jaringan otak. Akibatnya, akan
terjadi penurunan transmisi sinyal
dalam otak .
Selain itu, kerusakan jaringan sel
otak ini juga akan memicu penyakit-
penyakit lain seperti stroke atau
keumpuhan.

Tips Makan Mie Instan.

Untuk meminimalisir bahaya makan
mie instan, berikut ada beberapa
tips mudah yang bisa anda ikuti :

1. Beri Jangka Waktu

Jika Anda memang tidak bisa lepas
dari konsumsi mie instan, sebaiknya
jangan setiap hari memakannya .
Setelah makan mie instan, beri
jangka waktu sekitar 3 hari bila ingin
memakannya lagi .
Hal ini bertujuan untuk memberi
waktu bagi tubuh agar bisa
mencerna lilin (pelapis mie) sampai
benar-benar habis dan tidak
menumpuk di tubuh .

Penumpukkan
lilin sangat berbahaya bagi tubuh .
Lebih baik menjaga kesehatan
daripada nikmat sesaat. Kita masih
bisa mengkonsumsi mie dengan
intensitas yang tidak sering. Seperti
dengan mengkonsumsi mie instan
dengan jarak tiga hari sekali juga
termasuk langkah awal yang bagus
menuju hidup sehat . Ingat ! ,bahaya makan mie instan selalu mengawasi kita.

2. Tiriskan dan Bilas

Saat memasak mie instan, Anda
tentu merebus mie terlebih dahulu
dengan air mendidih. Setelah mie
instan yang anda masak tersebut
telah matang jangan langsung
mengkonsumsinya. Bahaya makan mie instan yang ada kandungan
lilinnya selalu mengancam anda .
Jadi tiriskan dulu mie yang telah
matang tersebut.

Untuk mie instan goreng , setelah
mie masak, tiriskan lalu bilas lagi
dengan air bersih yang tentunya
sudah matang.

Untuk mie instan kuah , setelah mie
matang, jangan langsung dibubuhi
bumbu mie instan. Tiriskan dahulu
mie-nya , lalu buang air sisa
perebusan mie.
Untuk kuah , Anda
bisa memakai air panas yang baru.
Perlakuan ini untuk meminimalisir
masuknya zat lilin ke dalam tubuh.
Saat mie direbus , lilin bisa lepas dari
mie dan menyatu dengan air
rebusan. Itulah sebabnya, sebaiknya
jangan mengkonsumsi air rebusan
mie.

Selain itu, ada sebagian orang yang
lebih suka memakan mie instan
dengan kondisi yang masih kriuk-
kriuk. Ini juga perlu berhati - hati
karena bahaya makan mie instan
lebih besar dibanding yang makan
matang. Disarankan untuk
memasaknya dalam bentung
matang dan bukan setengah
matang.

Kinerja organ pencernaan akan
lebih berat jika kita mengkonsumsi
mie instan dalam kondisi setengah
matang. Bahkan bagi sebagian
orang yang memang kondisi organ
pencernaannya kurang baik akan
terasa mules dan sering buang air
besar jika memakan mie instan
dalam kondisi setengah matang.

3. Jangan mencampur bumbu ketika memasak.

Memasak mie instan memang
menyenangkan. Apalagi ketika mie
instan sudah matang. Namun perlu
sedikit diketahui bahwa ketika
memasak mie instan jangan
mencampurkan bumbu yang ada
pada mie instan dalam kondisi memasak .

Pada bumbu mie instan juga
terdapat kandungan berbahaya
yang akan semakin aktif ketika
dimasak dalam suhu yang tinggi .
Untuk mengurangi bahayanya
biasanya dalam mencampurkan
bumbu tersebut dicampurkan ketika
mie instan sudah diangkat dari
kompor.
Hal ini dilakukan untuk mengurangi
bahaya dari bumbu mie instan.

Namun kebanyakan orang tidak
mengetahuinya. Padahal jika kita
mau membaca pada label kemasan
mie instan juga sudah dianjurkan
untuk mencampurkan bumbu
setelah diangkat dari kompor.
Jika anda jeli dan teliti, silahkan
dilihat pada semua kemasan produk
mie instan. Semuanya memberikan
panduan dalam pencampuran
bumbu ketika mie instan sudah
ditiriskan atau sudah diangkat dari
kompor. Oleh sebab itu, ikutilah
petunjuk pemakaian setiap produk
yang anda beli .

Belajar Hidup Sehat

Hidup sehat tidaklah repot dan
mahal. Belajar hidup sehat bisa
dimulai dari belajar mempelajari
makanan apa saja yang kita makan.

Makanan yang kita makan
hendaklah merupakan makanan
yang alami atau nature .
Alam menyediakan banyak sekali
makanan yang bisa kita jadikan
makanan. Mulai dari tumbuhan
hingga hewan, semuanya bisa kita
makan. Manusia merupakan
konsumen tertinggi, jadi sangat
wajar jika apa saja bisa kita makan .

Dalam makan , tentunya tidak asal
makan. Semua makanan haruslah
dimakan secara seimbang agar
hidup sehat dapat tercapai.
Makanan sehat tidak berarti
makanan yang mahal. Makanan
yang sehat justru sangat murah .

Contohnya saja sayuran yang kita
makan bisa kita beli dengan harga
relatif murah . Bahkan di pedesaan,
tidak perlu membeli sayuran.
Sayuran bisa didapatkan hanya
dengan memetiknya saja di belakang
halaman rumah.
Jika kita hidup diperkotaan, kita juga
bisa memanfaat pot atau lahan di
samping rumah atau halaman
rumah untuk ditanam sayuran.
Selain sebagai bahan pokok dapur,
juga mampu memberikan
penghijauan di sekitar rumah kita .
Sungguh asri pastinya dan sejuk .

Ternyata hidup sehat tidaklah
mahal. Lebih baik membudayakan
hidup sehat dari pada kita terus
dibayangi bahaya makan mie instan.
Jika perut kita lapar , hendaknya
sediakan roti atau karbohidrat
lainnya sebagai pengganti mie instan
karena bahaya makan mie instan
sangatlah tinggi .

Sekian dan terimakasih


Rabu, 31 Oktober 2012

Posisi Tidur yang baik

Bagaimana posisi tidur Anda? Cara tidur yang baik dapat memperpanjang umur Anda dan mengurangi risiko sakit punggung dan pegal-pegal.
Tidur miring

Bila Anda merasa nyaman dengan tidur miring, sebaiknya Anda miringkan badan ke arah kanan. Seperti halnya tidur telungkup, tidur dengan posisi miring ke kiri akan membebani jantung dengan berat badan Anda. Pada saat yang sama, jantung masih harus memompa darah. Hal ini mengakibatkan kelelahan jantung yang dapat berakibat fatal dalam jangka panjang.

Posisi tidur miring yang terbaik adalah “cara tidur bayi” yaitu dengan punggung melengkung dan kaki sedikit menekuk ke arah dada. Posisi ini mengurangi tekanan pada tulang punggung, memudahkan pernafasan, dan membebaskan organ-organ tubuh. Gunakan bantal yang sedikit keras di bawah kepala dan leher untuk mengurangi tekanan di pundak. Sisipkan bantal di antara kedua kaki agar tumpuan badan tidak terlalu berpusat di pinggul dan menimbulkan pegal-pegal.
Tidur telentang

Tidur telentang sangat baik bila Anda memiliki nyeri punggung. Menyisipkan bantal di bawah dengkul kaki bermanfaat untuk mengurangi beban punggung bagian bawah.
Tidur tengkurap

Ini adalah posisi tidur yang paling buruk karena menekan jantung, paru-paru dan perut. Namun, bila karena sesuatu hal Anda harus tidur tengkurap, gunakan bantal di bawah perut dan pinggang. Hindari penggunaan bantal di kepala atau kecilkan ukurannya karena akan menekan leher Anda.

Hampir setiap orang berganti-ganti posisi pada saat tidur. Posisi saat Anda mulai tidur mungkin berbeda dengan saat bangun. Perubahan posisi seperti itu wajar saja, asal tidak berlebihan. Untuk mengurangi pergantian posisi yang terlalu sering sehingga membahayakan tubuh Anda, gunakan bantal yang empuk dan cukup keras dan bersihkan sprei atau badcover agar tidak menimbulkan gatal.

Sabtu, 22 September 2012

asal mula bahasa

Asal mula bahasa

copas Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Asal mula bahasa pada spesies manusia telah menjadi topik yang didiskusikan oleh para ilmuwan selama beberapa abad. Walaupun begitu, tidak ada konsensus mengenai asal atau waktu awalnya. Salah satu masalah yang membuat topik tersebut sangat susah untuk dipelajari adalah tidak adanya bukti langsung yang kuat, karena tidak ada bahasa atau bahkan kemampuan untuk memproduksinya menjadi fosil. Akibatnya para ahli yang ingin meneliti asal mula bahasa harus mengambil kesimpulan dari bukti-bukti jenis lainnya seperti catatan fosil-fosil atau dari bukti arkeologis, dari keberagaman bahasa zaman sekarang, dari penelitian akuisisi bahasa, dan dari perbandingan antara bahasa manusia dan sistem komunikasi di antara hewan-hewan, terutama primata-primata lainnya. Secara umum disepakati bahwa asal mula bahasa sangat dekat dengan asal mula dari perilaku modern manusia, tapi hanya sedikit kesepakatan tentang implikasi-implikasi dan pengarahan dari keterkaitan tersebut.
Fakta bahwa bukti empiris sangat terbatas, telah membuat banyak ilmuwan menganggap semua topik secara keseluruhan tidak cocok untuk dipelajari secara serius. Pada tahun 1866, Linguistic Society of Paris sampai melarang debat mengenai subjek tersebut, sebuah larangan yang masih tetap berpengaruh di antara dunia barat sampai akhir abad 20. [1] Sekarang, ada banyak hipotesis mengenai bagaimana, kenapa, kapan dan di mana bahasa mungkin pertama kali muncul. [2] Tampaknya tidak begitu banyak kesepakatan pada saat sekarang dibandingkan seratus tahun lalu, saat teori evolusi Charles Darwin lewat seleksi alam-nya menimbulkan banyak spekulasi mengenai topik ini. [3] Sejak awal 1990-an, sejumlah ahli linguis, arkeologis, psikologis, antropolog, dan ilmuwan profesional lainnya telah mencoba untuk menelaah dengan metoda baru apa yang mereka mulai pertimbangkan sebagai permasalahan tersulit dalam sains. [4]

Daftar isi

Pendekatan-pendekatan

Pendekatan terhadap asal mula bahasa dapat dibagi berdasarkan asumsi dasarnya. 'Teori Keberlanjutan' yaitu berdasarkan ide bahwa bahasa sangat kompleks sehingga tidak dapat dibayangkan ia timbul begitu saja dari ketiadaan menjadi bentuk akhir seperti sekarang: ia pastinya berkembang dari sistem pre-linguistik awal di antara leluhur primata kita. 'Teori Ketakberlanjutan' yaitu berdasarkan ide yang berlawanan -- bahwa bahasa adalah suatu sifat sangat unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang ditemukan pada spesies selain manusia dan oleh karena ia pasti muncul secara tiba-tiba selama perjalanan evolusi manusia. Perbedaan lainnya yaitu antara teori yang melihat bahasa sebagai bawaan lahir yang ter-sandi secara genetis, dan mereka yang melihatnya sebagai sebuah sistem yang secara umum kultural -- dipelajari lewat interaksi sosial. [5]
Noam Chomsky adalah pendukung utama dari teori ketakberlanjutan, sebuah masalah di mana ia berpihak sedikit terpisah dengan rekan akademisnya yang lain. Dia beralasan bahwa sebuah mutasi terjadi pada salah satu individu dalam rentang 100.000 tahun yang lalu, mengakibatkan munculnya kemampuan bahasa (sebuah komponen dalam otak) secara 'instan' dalam bentuk yang 'sempurna' atau 'hampir-sempurna'. Argumentasi secara filosofinya berbunyi sebagai berikut: pertama, dari apa yang diketahui mengenai evolusi, setiap perubahan biologis dalam suatu spesies timbul dari perubahan genetis secara acak pada satu individu, yang menyebar dalam satu kelompok peranakan. Kedua, dari perspektif komputasi dalam teori bahasa: satu-satunya perubahan yang dibutuhkan adalah kemampuan kognitif untuk membentuk dan memproses struktur data rekursif dalam pikiran (properti dari "diskrit tak-terbatas", yang muncul hanya unik pada manusia). Perubahan genetis ini, yang memberikan otak manusia suatu properti diskrit tak-terbatas, Chomsky beralasan, secara esensial merupakan loncatan yang menyebabkan dapat menghitung dari bilangan N, dimana N adalah bilangan pasti, sampai mampu menghitung sampai bilangan tak-terbatas (misalnya, jika N dapat dibentuk begitu juga N+1). Dari pernyataan di atas bahwa evolusi kemampuan bahasa pada manusia adalah saltasi karena, secara logika, tidak mungkin ada transisi secara bertingkat dari otak yang mampu menghitung pada bilangan tertentu, menjadi otak yang mampu berpikir mengenai ketak-terbatasan. Gambarannya, dengan analogi sederhana, adalah bahwa formasi kemampuan berbahasa pada manusia adalah serupa dengan formasi kristal; diskrit tak-terbatas merupakan bibit kristal dalam otak super primata, yang mendekati perkembangan menjadi otak manusia, oleh hukum fisika, saat sebuah batu kecil, tapi sangat penting, dilanjutkan oleh evolusi. [6] [7]
Teori keberlanjutan sekarang dipegang oleh mayoritas ilmuwan, tapi mereka berbeda dalam melihat dalam pengembangannya. Diantaranya yang melihat bahasa sebagai bawaan lahir, beberapa -- yang terkenal yaitu Steven Pinker [8] -- menghindari berspekulasi mengenai pelopor bahasa pada primata non-manusia, menekankan secara sederhana bahwa kajian bahasa harusnya berevolusi secara bertahap. [9] Yang lainnya pada kelompok intelektual yang sama -- yang terkenal yaitu Ib Ulbaek [10] -- menganggap bahwa bahasa berkembang tidak dari komunikasi primata tapi dari kesadaran primata, yang jauh lebih kompleks. Bagi mereka yang melihat bahasa sebagai alat komunikasi yang dipelajari secara sosial, seperti Michael Tomasello, melihat perkembangan bahasa dari aspek komunikasi primata, hal ini lebih kepada komunikasi secara gestural daripada secara vokal. [11] [12] Dimana prekursor vokal diperhatikan, banyak pendukung teori keberlanjutan membayangkan bahasa berkembang dari kemampuan manusia awal dalam bernyanyi. [13] [14]
Melampaui pembagian keberlanjutan-lawan-ketakberlanjutan adalah mereka yang melihat munculnya bahasa sebagai konsekuensi dari suatu bentuk transformasi sosial [15] yang, dengan menghasilkan tingkat kepecayaan umum yang belum pernah terjadi sebelumnya, membebaskan potensi genetik untuk kreativitas linguistik yang sebelumnya dibiarkan tertidur. [16] [17] [18] 'Teori koevolusi ritual/bicara' adalah sebuah contoh dari pendekatan ini. [19] [20] Ilmuwan-ilmuwan dalam kelompok intelektual ini menunjuk kepada fakta bahwa bahkan simpanse dan bonobo memiliki kemampuan terpendam yang, dalam lingkungan liar, jarang dipergunakan. [21]
Karena munculnya bahasa terjadi begitu jauh dalam sejarah sebelum manusia, perkembangan yang terkait tidak meninggalkan jejak sejarah langsung; dan tidak ada proses pembandingan yang dapat dilakukan pada masa sekarang. Oleh karena itu, munculnya bahasa isyarat pada masa modern -- Bahasa Isyarat Nikaragua, misalnya -- mungkin berpotensi memperlihatkan gambaran tingkat-tingkat perkembangan dan proses kreatif yang terlibat. [22] Pendekatan lainnya yaitu dengan meneliti fosil manusia awal, melihat kemungkinan adanya jejak adaptasi fisik terhadap penggunaan bahasa. [23] [24] Pada beberapa kasus, saat DNA dari manusia yang telah punah dapat dipulihkan, ada atau absen-nya gen yang seharusnya berkaitan dengan bahasa -- FOXP2 sebagai contohnya -- mungkin dapat memberikan informasi lebih lanjut. [25] Pendekatan lainnya, kali ini secara arkeologis, adalah dengan membawa perilaku simbolis (seperti aktivitas ritual) yang mungkin berpotensial meninggalkan jejak secara arkeologis -- seperti pengumpulan dan modifikasi dari pigmen ochre yang digunakan untuk melukis badan -- dapat membangun argumentasi teoretis untuk memberikan kesimpulan dari simbolism secara umum kepada bahasa secara khusus. [26] [27] [28]
Rentang waktu bagi evolusi bahasa dan/atau prasyarat anatomis terjadu, paling tidak secara dasar, sejak perpisahan phylogenetic pada Homo (2,3 sampai 2,4 juta tahun lalu) dari Pan (5 sampai 6 juta tahun lalu) sampai munculnya perilaku modernitas sekitar 150.000 - 50.000 tahun lalu. Beberapa orang membantah bahwa Australopithecus kemungkinan tidak memiliki sistem komunikasi yang lebih canggih dari pada Kera Besar secara umum, [29] tetapi para ahli memiliki opini yang berbeda-beda terhadap perkembangan sejak munculnya Homo sekitar 2,5 juta tahun yang lalu. Beberapa ahli mengasumsikan perkembangan sistem mirip-bahasa primitif (proto-bahasa) sama awalnya dengan Homo habilis, sementara ahli lainnya menempatkan perkembangan komunikasi simbol primitif hanya dengan Homo erectus (1,8 juta tahun yang lalu) atau Homo heidelbergensis (0,6 juta tahun yang lalu) dan perkembangan bahasa pada Homo sapiens kurang dari 200.000 tahun lampau.
Menggunakan metoda statistik untuk memperkirakan waktu yang dibutuhkan untuk mengetahui persebaran dan perbedaan pada bahasa modern saat sekarang, Johanna Nichols -- seorang ahli bahasa dari University of California, Berkeley -- memberikan argumen pada tahun 1998 bahwa bahasa vokal pastinya telah berdiversifikasi pada spesies kita paling tidak sekitar 100.000 tahun lalu. [30] Menggunakan keberagaman fonemis, sebuah analisis terbaru memberikan dukungan linguistik langsung terhadap waktu yang sama. [31] Estimasi semacam ini secara independen didukung oleh genetis, arkeologis, paleontologi dan banyak bukti lainnya menyarankan bahwa bahasa mungkin muncul di suatu tempat di sub-Sahara Afrika selama zaman batu pertengahan, kira-kira sezaman dengan perkembangan spesies Homo sapiens. [32]
Para linguis setuju bahwa, selain dari pijin, tidak ada bahasa "primitif": semua populasi manusia modern berbicara bahasa yang hampir sama kompleks dan ekspresif kuatnya, [33] walau penelitian terbaru telah mengeksplorasi bagaimana kompleksitas linguistik bervariasi antara dan dalam suatu bahasa selama perjalanan sejarah. [34]

Hipotesis asal mula bahasa

Spekulasi awal

Saya tidak dapat meragukan bahwa asal usul bahasa meminjam pada imitasi dan modifikasi, dibantu oleh isyarat dan gerakan, dari berbagai suara alam, suara binatang lainnya, dan seruan naluriah manusia itu sendiri.
Charles Darwin, 1871. The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex. [35]
Pada tahun 1861, ahli sejarah linguis Max Müller menerbitkan daftar spekulatif teori tentang asal mula bahasa: [36]
  • Bow-wow. Teori bow-wow atau cuckoo, yang Muller atribusikan kepada filsuf Jerman Johann Gottfried Herder, melihat kata-kata bermula sebagai imitasi dari teriakan hewan-hewan liar atau burung.
  • Pooh-pooh. Teori Pooh-Pooh melihat kata-kata pertama sebagai teriakan dan interjeksi emosional dipicu oleh rasa sakit, senang, terkejut, dan lainnya.
  • Ding-dong. Müller menyarankan apa yang dia sebut dengan teori Ding-Dong, yang menyatakan bahwa semua mahluk memiliki sebuah getaran resonansi alami, digemakan oleh manusia dalam perkataan awalnya dengan suatu cara.
  • Yo-he-ho. Teoriyo-he-ho melihat bahasa muncul dari kegiatan kerja sama yang teratur, usaha untuk sinkronisasi otot menghasilkan suatu suara yang 'menghela' bergantian dengan suara seperti ho.
  • Ta-ta. Teori ini tidak ada dalam daftar Max Müller, tapi diajukan oleh Sir Richard Paget pada tahun 1930.[37] Menurut teori ta-ta, manusia membuat perkataan pertama dengan menggerakan lidah yang meniru gerakan manual, membuatnya terdengar bersuara.
Banyak ilmuwan saat ini menganggap semua teori tersebut tidak begitu banyak yang salah -- adakalanya mereka menawarkan wawasan -- seperti naif komikal dan tidak relevan. [38] [39] Permasalahannya dengan teori tersebut yaitu mereka hampir mekanistik. Mereka mengasumsikan bahwa sekali leluhur kita menyadari kejeniusan mekanisme untuk menghubungkan suara dengan makna, bahasa secara otomatis berkembang dan berubah.

Permasalahan reliabilitas dan kecurangan

Dari perspektif ilmu modern Darwin, rintangan utama dari evolusi komunikasi mirip-bahasa di alam bukanlah mekanisme. Melainkan, fakta bahwa simbol-simbol -- asosiasi acak antara suara atau suatu bentuk yang tampak dengan maknanya -- adalah tidak dapat diandalkan dan bisa saja salah. [40] Seperti bunyi peribahasa, 'Berbicara itu gampang'. [41] Permasalahan reliabilitas tidak dikenali oleh Darwin, Müller atau oleh ahli teori evolusi awal.
Sinyal vokal hewan pada umumnya secara intrinsik dapat diandalkan. Pada saat seekor kucing mendengkur, sinyal tersebut menandakan bukti langsung bahwa hewan berada pada keadaan senang. Kita dapat 'percaya' kepada sinyal tersebut bukan karena kucing itu jujur, tetapi karena suara itu tidak dapat dipalsukan. Seruan vokal primata bisa saja lebih dapat dimanipulasi, tetapi mereka tetap dapat diandalkan untuk beberapa alasan -- karena mereka susah untuk dipalsukan. [42] Intelijensi sosial primata disebut Machiavellian -- melayani diri sendiri dan tidak dibatasi oleh moral. Monyet dan kera terkadang mencoba menipu satu sama lain, sementara pada saat bersamaan tetap berjaga-jaga agar tidak menjadi korban dari penipuan itu sendiri. [43] Paradoksnya, justru resistensi dari primata terhadap penipuan menghambat evolusi sistem sinyal mereka bersama dengan perkataan yang mirip-bahasa. Bahasa ditolak karena cara terbaik untuk mencegah dari tertipu adalah dengan mengabaikan semua sinyal kecuali yang reliabilitasnya dapat diperiksa langsung. Perkataan secara otomatis gagal dalam tes ini. [44]
Kata-kata sangat mudah dipalsukan. Jika kata-kata berbentuk kebohongan, pendengar akan beradaptasi dengan mengabaikan mereka sehingga menguntungkan isyarat atau indeks yang lebih sulit di palsukan. Supaya bahasa dapat bekerja, pendengar haruslah yakin bahwa pembicara yang mereka ajak berbicara secara umum cenderung berkata jujur. [45] Fitur aneh pada bahasa adalah 'referensi terlantar', yang berarti referensi terhadap topik diluar situasi yang sekarang dialami. Properti ini mencegah ucapan-ucapan menjadi suatu kebenaran 'di sini' dan 'sekarang' secara langsung. Karena alasan tersebut, bahasa mengasumsikan tingkat saling percaya yang tinggi supaya menjadi terbentuk selama masa waktu sebagai suatu strategi yang secara evolusi stabil. Teori dari asal mula bahasa harus menjelaskan kenapa manusia dapat mulai mempercayai isyarat-isyarat lemah dengan suatu cara dimana binatang lain tidak bisa (lihat teori sinyal).

Hipotesis 'bahasa ibu'

Hipotesis 'bahasa ibu' di ajukan pada tahun 2004 sebagai solusi yang mungkin dari masalah ini. [46] W. Tecumseh Fitch menyatakan bahwa prinsip Darwinian dari 'seleksi saudara' [47] -- ketertarikan konvergensi genetis antara kerabat -- bisa jadi bagian dari jawaban. Fitch menyarankan bahwa bahasa bermula dari 'bahasa ibu'. Jika bahasa berevolusi pada awalnya untuk komunikasi antara ibu dan turunan biologisnya sendiri, berkembang lebih lanjut mengikutkan kerabat dewasa juga, ketertarikan antara pembicara dan pendengar pastinya suatu kebetulan. Fitch beralasan bahwa ketertarikan genetis yang sama menyebabkan kepercayaan dan kerjasama yang cukup untuk sinyal yang secara intrinsik tidak dapat dipercaya -- perkataan -- supaya dapat diterima sebagai sesuatu yang terpercaya dan mulai berkembang untuk pertama kalinya.
Kritik terhadap teori ini menunjuk pada seleksi kerabat tidak hanya unik pada manusia. Ibu kera juga berbagi gen dengan turunannya, sebagaimana binatang lainnya, lalu kenapa hanya manusia yang berbicara? Lebih lanjut, sangat susah untuk percaya bahwa manusia awal membatasi komunikasi linguistik hanya pada saudara genetis: tabu mengenai inses pasti memaksa laki dan wanita berinteraksi dan berkomunikasi dengan yang bukan saudara. Jadi, walaupun kita menerima premis pertama Fitch, penyebab dari hubungan 'bahasa ibu' dari kerabat kepada non-kerabat tetap tidak dapat dijelaskan. [48]

Hipotesis 'altruisme timbal balik wajib'

Ib Ulbaek [49] menyebutkan prinsip Darwinian lain -- 'altruisme timbal-balik' [50] -- untuk menjelaskan tingkat kejujuran tinggi yang diperlukan oleh bahasa untuk berkembang. 'Altruism timbal-balik' dapat diekspresikan sebagai prinsip yang jika kamu menggaruk belakang saya, saya akan menggaruk punyamu juga. Dalam istilah linguistik, ia dapat berarti jika kamu berkata jujur pada saya, saya akan jujur juga padamu. Altruism timbal-balik Darwin umumnya, Ulbrek menunjukkan, adalah sebuah hubungan yang terjalin antara interaksi individu-individu yang sering terjadi. Supaya bahasa menguasai seluruh komunitas, bagaimanapun juga, suatu pertukaran diperlukan secara paksa secara universal tidak hanya dibiarkan sebagai pilihan individu. Ulbek menyimpulkan bahwa supaya bahasa dapat berkembang, masyarakat awal secara keseluruhan pastinya subjek dari regulasi moral.
Kritik menunjukkan bahwa teori ini gagal menjelaskan kapan, bagaimana, kenapa atau oleh siapa 'altruisme timbal balik wajib' dapat mungkin ditegakkan. Berbagai proposal telah diajukan untuk memperbaiki kekurangan ini. [51] Kritikan lebih lanjut adalah bahwa bahasa tidak bekerja berdasarkan altruisme timbal-balik. Manusia dalam percakapan grup tidak menyimpan semua informasi kecuali pendengar mau memberikan informasi berharga sebagai balasan. Secara berlawanan, mereka tampak ingin menampilkan kepada dunia akses mereka terhadap informasi yang berhubungan secara sosial, menyebarkannya kepada siapa saja yang mau mendengarkan tanpa menginginkan kembalian. [52]

Hipotesis gosip dan perawatan

Gosip, menurut Robin Dunbar, dilakukan kelompok manusia dimana merawat berlaku pada primata lainnya -- ia membolehkan individu untuk melayani hubungan mereka dan menjaga persekutuan mereka dengan prinsip dasar, Jika kamu menggaruk belakang saya, saya akan menggaruk punyamu juga. Saat manusia mulai hidup di grup sosial yang semakin besar, pekerjaan merawat semua teman dan kenalan menjadi memakan waktu dan tidak terjangkau. Merespon permasalahan ini, manusia menciptakan 'perawatan yang murah dan sangat efisien' -- perawatan vokal. Untuk membuat teman bahagia, sekarang anda cukup 'merawat' mereka dengan suara vokal yang rendah, melayani sejumlah sekutu secara bersamaan sementara membuat kedua tangan bebas untuk pekerjaan lainnya. Perawatan vokal kemudian berkembang secara bertahap menjadi bahasa vokal -- awalnya dalam bentuk 'gosip'. [53]
Kritik terhadap teori ini menunjuk pada efisiensi dari 'perawatan vokal' -- fakta bahwa bicara itu gampang -- akan merusak kapasitasnya untuk mensinyalkan sejenis komitmen yang disampaikan dengan perawatan manual yang berharga dan memakan waktu. [54] Kritikan lebih lanjut adalah bahwa teori ini tidak menjelaskan transisi krusial dari perawatan vokal -- produksi suara yang menenangkan tapi tidak berarti -- ke kompleksitas kognitif dari berbicara secara sintaks.

Koevolusi ritual/bicara

Teori koevolusi ritual/bicara awalnya diajukan oleh antropolog sosial terkenal Roy Rappaport [55] sebelum dielaborasi oleh antropolog seperti Chris Knight, [56] Jerome Lewis, [57] Nick Enfield, [58] Camilla Power [59] dan Ian Watts. [60] Ilmuwan kognitif dan insiyur robotik Luc Steels [61] adalah pendukung penting dari pendekatan ini, seperti juga antropologis/neurosains biologis Terrence Deacon. [62]
Ilmuwan tersebut beralasan bahwa tidak ada yang namanya 'teori asal mula bahasa'. Hal ini dikarenakan bahasa bukanlah sebuah adaptasi terpisah tapi sebuah aspek internal yang lebih luas -- dinamakan, kultur simbolis manusia secara keseluruhan. [63] Mencoba menjelaskan bahasa secara independen dalam konteks yang luas ini secara spektakuler gagal, para ilmuwan tersebut mengatakan, karena mereka menangani masalah tanpa solusi. Bisakah kita membayangkan seorang ahli sejarah mencoba menjelaskan munculnya kartu kredit secara tersendiri dalam sistem yang luas dimana ia adalah sebuah bagian? Menggunakan kartu kredit masuk akal jika anda memiliki rekening bank secara institusi dikenal dalam suatu jenis masyarakat kapitalis maju -- suatu sistem dimana teknologi komunikasi elektronik dan komputer digital telah ditemukan dan penggelapan dan dideteksi dan dicegah. Dalam hal yang sama, bahasa tidak akan bekerja diluar susunan institusi dan mekanisme sosial. Sebagai contohnya, ia tidak akan bekerja bagi seekor kera yang berkomunikasi dengan kera lain di dunia liar. Bahkan tidak untuk kera tercerdas pun dapat membuat bahasa bekerja di bawah kondisi tersebut.
Kebohongan dan jenis-jenisnya, diturunkan dalam bahasa ... memberikan permasalahan terhadap masyarakat yang stukturnya dibangun oleh bahasa, yang dinamakan semua masyarakat manusia. Oleh karena itu saya beralasan bahwa jika semua kata itu ada maka diperlukan membentuk Firman, dan bahwa Firman dibentuk oleh persamaan liturgi.
Roy Rappaport, 1979. Ecology, Meaning and Religion, pp. 210-11. [64]
Pendukung pemikiran ini merujuk bahwa berbicara itu gampang. Seperti halusinasi digital, mereka secara intrinsik tidak dapat diandalkan. Jika kera sangat pandai, atau bahkan satu kelompok kera pandai, mencoba untuk menggunakan kata-kata di alam liar, mereka tidak akan membawa suatu keyakinan. Vokalisasi primata yang mana membawa keyakinan -- yaitu yang mereka benar-benar gunakan -- adalah tidak mirip dengan perkataan, dimana mereka diekspresikan secara emosional, bermakna secara intrinsik dan dapat dipercaya karena mereka relatif sangat berharga dan sulit dipalsukan.
Bahasa terdiri dari kontras digital yang harganya secara esensial nol. Sebagai konvensi sosial murni, sinyal jenis ini tidak dapat berkembang dalam dunia sosial Darwinian -- mereka adalah sebuah ketidakmungkinan secara teoritis. [40] Karena tidak dapat dipercaya secara intrinsik, bahasa bekerja hanya jika anda dapat membuat suatu reputasi sebagai kepercayaan dalam suatu bentuk masyarakat -- disebut, salah satu dimana fakta simbolis (terkadang disebut dengan 'fakta institusional') dapat dibangun dan dijaga lewat dukungan kolektif sosial. [65] Dalam masyarakat pemburu-pengumpul, mekanisme dasar untuk membangun kepercayaan dalam fakta kultural simbolis adalah ritual bersama. [66] Oleh karena itu, pekerjaan yang dihadapi para peneliti dalam asal mula bahasa adalah lebih ke multidisiplin daripada biasanya. Ia berhubungan dengan melihat perkembangan timbulnya kultur simbolis manusia secara keseluruhan, dengan bahasa sebagai salah satu yang utama tapi komponen tambahan.
Kritik mengenai teori ini dari Noam Chomsky, yang menamainya dengan hipotesis 'ketak-adaan' -- sebuah penolakan dari keberadaan bahasa sebagi suatu objek kajian bagi ilmu alam. [67] Teori Chomsky sendiri adalah bahwa bahasa muncul secara instan dan dalam bentuk sempurna, [68] mendorong kritiknya sebagai jawaban bahwa hanya sesuatu yang tidak ada -- sebuah konstruksi teoritis atau fiksi sosial yang mudah -- yang dapat muncul secara ajaib. [69] Kontroversi masih tetap belum terselesaikan.

Teori Gestur

Teori gestur (isyarat) menyatakan bahwa bahasa manusia berkembang dari gestur yang digunakan sebagai komunikasi sederhana.
Dua tipe bukti mendukung teori ini.
  1. Bahasa gestur dan bahasa lisan bergantung pada sistem neural yang sama. Bagian pada cortex yang bertanggung jawab terhadap pergerakan mulut dan tangan.
  2. Primata selain manusia menggunakan gestur atau simbol setidaknya untuk komunikasi primitif, dan beberapa dari gestur tersebut mirip dengan yang digunakan pada manusia, seperti "gestur meminta", dengan tangan direntangkan, dimana manusia memiliki kesamaan dengan simpanse.[70]
Penelitian telah menemukan bukti kuat untuk ide bahwa bahasa lisan dan bahasa isyarat bergantung pada struktur neural yang sama. Pasien yang menggunakan bahasa isyarat, dan yang menderita left-hemisphere lesion, memperlihatkan disorder yang sama dengan bahasa isyarat sebagaimana pasien vokal dengan bahasa oral-nya. [71] Peneliti lain menemukan bagian left-hemisphere otak yang aktif saat melakukan bahasa isyarat sama dengan saat menggunakan bahasa vokal atau tulisan. [72]
Pertanyaan penting untuk teori gestur yaitu kenapa terjadi peralihan ke penggunaan vokalisasi. Terdapat tiga penjelasan yang memungkinkan:
  1. Nenek moyang kita mulai menggunakan alat yang lebih banyak, artinya kedua tangan mereka sedang digunakan dan tidak dapat digunakan untuk melakukan gestur. [73]
  2. Penggunaan gestur membutuhkan dua invidu yang berkomunikasi dapat melihat satu sama lain. Pada banyak situasi, mereka butuh berkomunikasi, bahkan tanpa kontak visual -- misalnya saat malam hari atau saat dedaunan menghalangi pemandangan.
  3. Hipotesis gabungan memegang bahwa bahasa awal menggunakan bagian gestur dan bagian vokal mimemis (meniru 'lagu-dan-tarian'), menggabungkan modalitas karena semua sinyal (seperti para kera dan monyet) masih diperlukan untuk secara intrinsik meyakinkan. Oleh sebab itu, setiap penglihatan multi-media diperlukan tidak hanya untuk membingungkan arti sebenarnya tapi juga untuk menginspirasi kepercayaan dalam realibilitas sinyal. Hal ini menyarankan bahwa hanya saat pemahaman komunitas datang menjadi kekuatan[74]
maka secara otomatis diasumsikan kepercayaan dalam upaya komunikatif, paling tidak membolehkan Homo sapiens berpindah ke ultra-efisien, cepat - digital kebalikan dari analog - format standar. Karena fitur perbedaan vokal (kontras suara) cocok untuk tujuan ini, maka hanya pada titik tersebut - saat bahasa tubuh yang secara intrinsik persuasif tidak lagi dibutuhkan untuk menyampaikan setiap pesan - bahwa pemilihan perpindahan dari manual gestur ke bahasa ucapan terjadi.[75][76][77]
Manusia masih menggunakan tangan dan gestur wajah saat berbicara, terutama saat seseorang bertemu dengan orang lain yang berbeda bahasa. [78] Dan ada juga, sudah pasti, sejumlah bahasa isyarat yang masih eksis, biasanya berkaitan dengan komunitas tuli; penting juga diketahui bahwa bahasa isyarat memiliki kompleksitas, kecanggihan, dan kekuatan ekspresif yang sama dengan bahasa oral yang ada -- fungsi kognitifnya sama dan bagian otak yang digunakan juga sama -- perbedaannya adalah "fonem" diproduksi oleh tubuh bagian luar, diartikulasikan dengan tangan, badan, dan ekspresi muka, bukan dengan bagian dalam tubuh yang diartikulasikan dengan lidah, gigi, bibir, dan pernapasan.
Kritik terhadap teori gestural menyatakan bahwa sangat sulit untuk menyebutkan alasan serius mengapa komunikasi vokal berbasis-nada (yang digunakan pada primata) ditinggalkan demi komunikasi yang kurang efektif selain suara, komunikasi gestur. Tantangan lain untuk teori gestur-lebih-dahulu telah dikemukakan oleh peneliti dalan psikolinguistik, termasuk David McNeill.

Saraf mirror dan asal mula bahasa

Pada manusia, penelitian fungsi MRI telah melaporkan menemukan wilayah yang sama dengan sistem saraf mirror pada monyet di korteks bagian depan bawah, dekat dengan wilayah Borca, salah satu yang dihipotesiskan sebagai wilayah bahasa pada otak. Hal ini memberikan petunjukan bahwa bahasa manusia berkembang dari sebuah sistem pemahaman gestur yang tertanam di saraf mirror. Saraf-saraf mirror dikatakan memiliki potensi untuk menyediakan suatu mekanisme untuk memahami-aksi, belajar-meniru, dan mensimulasikan perilaku orang lain. [79] Hipotesis ini didukung oleh beberapa homologi cytoarchitectonic antara wilayah premotor monyet F5 dan wilayah Broca pada manusia. [80] Laju ekspansi kosa kata terkait dengan kemampuan anak untuk meniru suara bukan-kata dan juga dalam mempelajari pengucapan kata baru. Hal seperti pengulangan bicara terjadi secara otomatis, cepat [81] dan secara terpisah pada otak untuk persepsi bicara. [82] [83] Lebih lanjut imitasi suara tersebut dapat terjadi tanpa pemahaman seperti dalam pembayangan bicara [84] dan echolalia. [85]
Bukti lebih lanjut dari keterkaitan ini datang dari penelitian terbaru di mana aktivitas otak dari dua peserta diukur menggunakan fMRI saat mereka melakukan isyarat kata-kata antara satu sama lain menggunakan isyarat tangan melalui suatu permainan tebak kata -- sebuah modalitas yang beberapa ahli menyarankan mungkin merepresentasikan prekursor secara evolusi dari bahasa manusia. Analisis data menggunakan Kausalitas Granger memperlihatkan bahwa sistem saraf-mirror dari pengamat memang merefleksikan pola dari aktivitas dari aktivitas di dalam sistem motor si pengirim, mendukung ide bahwa konsep motor berhubungan dengan kata-kata memang ditransmisikan dari satu otak ke otak lain menggunakan sistem mirror. [86]
Harusnya diketahui bahwa sistem saraf mirror tampak pada dasarnya tidak memadai untuk memainkan peran dalam sintaks, walaupun properti penting dari bahasa manusia yang diimplementasi dalam struktur rekursif hierarki ini diratakan menjadi urutan linier fenom-fenom membuat struktur rekursif tidak dapat diakses oleh deteksi sensorik. [87]

Teori menaruh anak di bawah

Menurut teori 'menaruh anak di bawah'-nya Dean Falk, interaksi vokal antara ibu hominin awal dengan anaknya menimbulkan sebuah urutan kejadian yang menyebabkan, akhirnya, perkataan awal dari leluhur kita. [88] Ide dasarnya adalah ibu manusia yang berevolusi, tidak seperti monyet dan kera, tidak dapat berpindah tempat dan mencari makanan saat anaknya menggantung di belakang mereka. Hilangnya bulu pada kasus manusia menyebabkan anak bukan berarti tidak mau menggantung. Seringkali, karenanya, si ibu harus menaruh bayi mereka di bawah. Hasilnya, bayi-bayi tersebut harus diyakinkan bahwa mereka tidak diacuhkan. Si ibu merespon dengan mengembangkan 'motherese' -- sistem komunikasi langsung kepada bayi yang menekankan ekspresi wajah, bahasa tubuh, menyentuh, menepuk, membelai, tertawa, menggelitik dan teriakan-teriakan panggilan ekspresif secara emosional. Argumennya adalah bahwa bahasa bisa saja berkembang karena hal-hal tersebut.
Kritik menyatakan bahwa bila teori ini mungkin menjelaskan sejumlah jenis 'protobahasa' terhadap-bayi - dikenal sekarang sebagai 'motherese' - ia hanya memberikan sedikit untuk menjawab permasalahan yang lebih rumit, yang mana, munculnya di antara orang dewasa perkataan dengan sintaks.

Teori Gramatisasi

'Gramatikalisasi' adalah sebuah proses sejarah berkelanjutan di mana kata-kata yang berdiri sendiri berkembang menjadi tambahan tata bahasa, sementara hal tersebut kemudian menjadi lebih terspesialisasikan dan terstruktur. Yang awalnya berupa penggunaan yang 'salah', menjadi diterima, mengarah ke konsekuensi yang tidak terbayangkan, memicu efek terpukul dan memperpanjang seurutan perubahan. Secara paradoks, tata-bahasa berkembang karena, dalam analisis akhir, manusia lebih tidak peduli tentang keindahan tata-bahasa dari pada tentang membuat mereka sendiri paham. [89] Jika ini merupakan cara bagaimana tata-bahasa berkembang sekarang, menurut aliran pemikiran tersebut, kita dapat secara sah berpendapat prinsip yang sama bekerja di antara leluhur jauh kita, saat tata-bahasa itu sendiri untuk pertama kalinya terbentuk. [90][91][92]
Untuk merekonstruksi ulang transisi evolusi dari awal bahasa ke bahasa dengan tata-bahasa kompleks, kita perlu mengetahui urutan hipotesis mana yang memungkinan dan yang tidak memungkinkan. Untuk menyampaikan ide abstrak, jalan keluar pertama dari pembicara adalah dengan kembali secara langsung pada gambaran konkrit yang dikenali, sering kali mengembangkan metafora-metafora yang berakar dalam pengalaman jasmani yang sama. [93] Contoh yang lazim adalah penggunaan istilah konkrit seperti 'perut' atau 'punggung' untuk menyampaikan makna abstrak seperti 'di dalam' atau 'di belakang'. Hal yang sama secara metafora adalah strategi dalam merepresentasikan pola sementara pada model spasial. Makanya dalam konteks bahasa Inggris sering dikatakan 'It is going to rain', dimodelkan dari 'I am going to London'. Kita bisa mempersingkat ini dalam bahasa sehari-hari menjadi 'It's gonna rain'. Bahkan pada saat terburu-buru, kita tidak mengatakan 'I'm gonna London' -- kontraksi terbatas pada waktu yang menentukan pekerjaan. Dari contoh tersebut kita tidak melihat kenapa gramatikalisasi secara konsistensi searah -- dari makna konkrit ke abstrak, bukan sebaliknya.
Para teori gramatikalisasi membayangkan bahasa awal sebagai sederhana, mungkin hanya terdiri dari kata-kata benda. [94] Bahkan dengan asumsi ekstrim tersebut, bagaimanapun juga, sangat susah untuk membayangkan halangan kognitif apa yang secara realistiknya mencegah orang dari menggunakan -- katakanlah -- 'tombak' seakan-akan sebagai kata kerja, seperti yang digunakan dalam bahasa Inggris ('Let's spear this pig!'). Terlepas dari keindahan tata-bahasa yang para profesional linguis pahami, orang-orang di dunia nyata akan menggunakan kata benda mereka sebagai kata kerja atau kata kerja sebagai kata benda saat keadaan mengkehendaki. Secara singkat, bila bahasa dengan kata-benda-saja mungkin tampak secara teori memungkinkan, teori gramatikalisasi mengindikasikan bahwa ia tidak dapat tetap konstan dalam keadaannya tersebut untuk waktu yang lama.
Kreativitas mengendalikan perubahan tata-bahasa. [95] Hal ini menganggap sejumlah sikap di pihak pendengar. Bukannya menghukum penyimpangan dari penggunaan yang seharusnya, pendengar harus memprioritaskan imajinasi membaca-pikiran. Kita seharusnya tidak mengambil begitu saja sikap kognitif. Kreatifitas imajinasi -- mengindahkan tanda bahaya macan tutul saat tidak ada macan tutul, sebagai contohnya -- bukanlah suatu perilaku yang mana monyet vervet akan hargai atau menghukum. [96] Kreatifitas dan reliabilitas adalah keinginan yang bertentangan; bagi primata 'Machiavellian' sebagaimana pada hewan secara umumnya, tekanan utamanya adalah untuk menunjukan reliabilitas. [97] Jika manusia meninggalkan batasan-batasan tersebut, itu karena pada kasus kita, para pendengar lebih tertarik dengan keadaan mental.
Untuk berfokus pada keadaan mental adalah untuk menerima fiksi -- penghuni dari imajinasi -- sebagai informasi yang potensial dan menarik. Ambil contoh pada penggunaan metafora. Sebuah metafora adalah, secara literal, sebuah pernyataan yang salah. [98] Bayangkan deklarasi Romeo, 'Juliet adalah matahari!'. Juliet adalah seorang wanita, bukanlah sebuah bola dari gas panas di angkasa. Tapi para pendengar tidak (biasanya) bersikeras terhadap akurasi faktanya. Mereka ingin mengetahui apa yang pembicara miliki dalam pikirannya. Gramatikalisasi secara esensialnya berdasarkan pada metafora. Untuk melanggar penggunaannya akan menghambat tata-bahasa untuk berkembang dan, dengan token yang sama, untuk meniadakan semua kemungkinan dalam mengekspresikan pemikiran abstrak. [93] [99]
Suatu kritikan terhadap semua hal ini adalah bila teori gramatikalisasi mungkin menjelaskan perubahan bahasa pada saat sekarang, ia tidak secara memuaskan menjawab tantangan yang lebih rumit -- menjelaskan transisi awal dari komunikasi gaya-primata ke bahasa yang kita ketahui sekarang. Tapi, teori tersebut mengasumsikan bahwa bahasa telah ada. Seperti yang dibenarkan oleh Bernd Heine dan Tania Kuteva: 'Gramatikalisasi membutuhkan sebuah sistem linguistik yang digunakan secara regular dan sering dalam suatu komunitas pembicara dan di sampaikan dari satu grup pembicara ke yang lainnya'. [100] Di luar manusia modern, kondisi tersebut tidak berlaku.

Teori Kera yang dijinakkan

Menurut penelitian yang menginvestigasi perbedaan suara antara white-rumped Munia dengan bandingannya yang dikandangkan (Bengalese finch), munia liar menggunakan urutan suara tinggi yang khas, dimana yang dipelihara mengeluarkan suara tinggi yang terpaksa. Pada finch liar, sintaks dari suara adalah supaya disukai oleh betina - seleksi seksual - dan secara relatif tidak berubah. Namun, pada Bengalese finch, seleksi alam digantikan oleh proses keturunan, dalam kasus ini untuk corak warna pada bulu. Karena berkurangnya dari tekanan selektif, sintaks suara yang khas dibiarkan menghilang. Ia digantikan, selama 1000 generasi, oleh sebuah variabel and tahap-tahap pembelajaran. Finch liar, lebih lanjut, tidak mampu mempelajari urutan suara dari finch lainnya. [101] Dalam bidang vokalisasi burung, bagian otak yang menghasilkan hanya suara bawaan lahir memiliki jalur neural yang sederhana: pusat forebrain motor utama, dikenal dengan robust nucleus dari arcopallium (RA), terhubung ke bagian tengah penghasil vokal, yang memproyeksikan ke brainstem motor nuclei. Secara berlawanan, bagian otak yang mampu mempelajari suara, RA menerima input dari sejumlah bagian forebrain, termasuk dari bagian yang terlibat dalam belajar dan sosial. Kontrol dalam menghasilkan suara menjadi kurang terbatas, lebih tersebar, dan lebih fleksibel.
Bila dibandingkan dengan primata lain, yang sistem komunikasinya terbatas pada stereotip suara teriak dan teriakan yang tinggi, manusia memiliki sangat sedikit vokalisasi bawaan lahir, sebagai contoh tertawa dan menangis. Lebih lanjut, vokalisasi bawaan lahir ini dihasilkan oleh jalur neuronal yang terbatas, dimana bahasa dihasilkan oleh sistem yang sangat tersebar mengikutkan sejumlah region pada otak manusia.
Fitur bahasa yang menonjol adalah bila kemampuan berbahasa diturunkan, bahasa itu sendiri ditransmisi lewat kultur. Yang ditransmisi lewat kultur juga pemahaman, seperti teknologi dalam cara-cara melakukan sesuatu, yang dibungkus dalam penjelasan berbasis bahasa. Karenanya seseorang akan mendapatkan lintasan evolusi yang kuat antara kemampuan bahasa dan kultur: proto-manusia yang mampu meggunakan bahasa pertama, dan diasumsikan belum sempurna, akan memiliki akses pemahaman kultural yang lebih baik, dan pemahaman kultural, disampaikan dalam proto-bahasa yang dapat dipahami oleh otak anak-anak, akan lebih mudah ditrasmisikan, sehingga memberikan manfaat yang dapat diperoleh.
Karena itu proto-human masih melaksanakan, dan terus melaksanakan, yang disebut dengan konstruksi niche, membuat niche kultural yang menyediakan kunci pemahaman terhadap kelangsungan hidup, dan perubahan evolusionari berkelanjutan yang mengoptimasi kemampuannya untuk menghiasi niche tersebut. Tekanan seleksi yang beroperasi untuk menopang insting yang dibutuhkan untuk bertahan hidup pada niche sebelumnya akan diharapkan mengendur karena manusia menjadi bergantung kepada niche kultural yang dibuat sendiri, selama inovasi-inovasi yang memfasilitasi adaptasi kultural -- dalam kasus ini, inovasi dalam kompetensi bahasa -- akan lebih berkembang.
Salah satu cara untuk memikirkan tentang evolusi manusia adalah kita ini seperti kera yang dijinakkan. Seperti halnya penjinakkan mengendurkan seleksi untuk stereotip suara pada burung finch -- pilihan pasangan digantikan dengan pilihan yang dibuat oleh kepekaan estetis dari peternak burung dan kustomernya -- bisa saja domestikasi dari kultural kita telah mengendurkan seleksi dalam banyak hal dari sifat perilaku primata kita, menyebabkan jalur lama menjadi merosot dan terbentuk ulang. Mempertimbangkan bahwa otak mamalia berkembang secara tidak pasti -- otak berkembang secara "bottom up", dengan satu kelompok interaksi neuronal mempersiapkan langkah untuk interaksi selanjutnya -- jalur degradasi lebih condong untuk mencari dan menemukan kesempatan baru untuk terhubung sinaptis. Perbedaan turunan dari jalur otak seperti itu bisa saja berkontribusi pada kompleksitas fungsi yang mengkarakterisasikan bahasa manusia. Dan, seperti yang terjadi pada burung finch, de-diferensiasi tersebut dapat terjadi dalam waktu yang cepat. [102] [103]

Komunikasi, bicara dan bahasa

Suatu perbedaan dapat ditarik antara bicara dan bahasa. Bahasa tidak harus selalu diucapkan: ia bisa saja tertulis atau diisyaratkan. Bicara adalah salah satu metode diantara sejumlah metode berbeda dalam menterjemahkan dan mentrasmisikan informasi linguistik, walaupun bisa dibilang yang paling alami.
Beberapa ahli melihat bahasa sebagai awal dari perkembangan kognitif, ke-'ekternalisasi'-nya untuk melayai tujuan komunikatif yang terjadi kemudian pada evolusi manusia. Menurut suatu aliran pemikiran, fitur kunci yang membedakan bahasa manusia adalah rekursi. [104] -- dalam konteks ini, proses berulang menanamkan kalimat di dalam kalimat. Ilmuwan lain -- yang terkenal Daniel Everett -- menolak bahwa rekursi itu adalah universal, mengutip beberapa bahasa tertentu (yaitu Pirahã) yang diduga memiliki kekurangan fitur ini. [105]
Kemampuan untuk memberikan pertanyaan dianggap oleh beberapa ahli untuk membedakan bahasa dari sistem komunikasi selain-manusia. Beberapa primata-primata kurungan (khususnya bonobo dan simpanse), telah mempelajari menggunakan isyarat elementer untuk berkomunikasi dengan pelatih manusia mereka, membuktikan mereka mampu merespon secara benar terhadap pertanyaan dan permintaan kompleks. Tetapi mereka gagal untuk memberikan sebuah pertanyaan yang sederhana. Sebaliknya, anak manusia mampu menanyakan pertanyaannya untuk pertama kali (hanya menggunakan intonasi pertanyaan) dalam periode mengoceh dari perkembangan mereka, jauh sebelum mereka dapat menggunakan sintaks yang terstruktur. Meskipun bayi-bayi dari kultur yang berbeda menyerap bahasa natif-nya dari lingkungan, semua bahasa di dunia tanpa kecuali -- tonal, non-tonal, intonasi dan aksen -- menggunakan "intonasi tanya" yang sama untuk pertanyaan ya-tidak. [106] [107] Fakta ini adalah bukti kuat dari keuniversalan dari intonasi tanya.

Perkembangan kognitif dan bahasa

Salah satu kemampuan yang menarik yang dimiliki oleh pengguna bahasa adalah referensi tingkat-tinggi, atau kemampuan untuk menunjuk ke benda atau keadaan sesuatu yang tidak terjadi secara langsung bagi pembicara. Kemampuan ini terkadang berhubungan kepada teori pikiran, atau sebuah kepedulian dari orang lain sebagai mahluk hidup seperti dirinya dengan hasrat dan perhatian sendiri. Menurut Chomsky, Hauser dan Fitch (2002), ada enam aspek dari sistem referensi tingkat-tinggi:
  • Teori pikiran
  • Kapasitas untuk mendapatkan representasi konseptual non-linguis, seperti perbedaan pada objek/sifat
  • Mengenali sinyal vokal
  • Imitasi sebagai sistem yang rasional, bertujuan, sengaja.
  • Secara sukarela mengatur produksi sinyal sebagai bukti dari komunikasi yang sengaja
  • Kognisi angka

Teori pikiran

Simon Baron-Cohen (1999) berargumen bahwa teori pikiran pasti mendahului penggunaan bahasa, berdasarkan bukti penggunaan dari karakteristik-karakteristik berikut sekitar 40.000 tahun yang lalu: komunikasi, perbaikan komunikasi yang gagal, mengajar, persuasi, penipuan yang disengaja, membuat tujuan dan rencana bersama-sama, membagi fokus atau topik secara sengaja, dan berpura-pura. Lebih lanjut, Baron-Cohen berargumen bahwa banyak primata memiliki kemampuan ini, tetapi tidak semuanya. Penelitian Call dan Tomasello terhadap simpanse mendukung argumen ini, dimana seekor simpanse tampak memahami bahwa simpanse lain memiliki kepedulian, pengetahuan, dan tujuan, tetapi tidak memahami penipuan. Banyak primata memperlihatkan kecendrungan ke arah teori pikiran, tetapi tidak sepenuhnya sama dengan yang dimiliki manusia. Secara keseluruhan, ada sejumlah konsensus bahwa teori pikiran diperlukan untuk menggunakan bahasa. Maka, perkembangan dari teori pikiran pada manusia diperlukan sebagai suatu prekursor penting untuk penggunaan bahasa secara penuh.

Pengenalan pada Angka

Dalam satu penelitian, tikus dan merpati dibutuhkan untuk menekan tombol beberapa kali untuk mendapatkan makanan: binatang memperlihatkan akurasi perbedaan untuk angka yang kecil dari empat, tapi setelah angka dinaikkan, tingkat error meningkat (Chomsky, Hauser & Fitch, 2002). Matsuzawa (1985) mencoba mengajari angka arab. Perbedaan antara primata dan manusia dalam hal ini sangatlah besar, dimana simpanse membutuhkan ribuan percobaan untuk mempelajarai angka 1-9 dimana setiap angka membutuhkan waktu pelatihan yang hampir sama; dan, setelah mempelajari makna dari 1, 2 dan 3 (dan terkadang 4), anak-anak dengan mudah memahami nilai integer tertinggi dengan menggunakan fungsi turunan (misalnya, 2 lebih besar dari 1, 3 adalah 1 angkat lebih besar dari 2, 4 lebih besar 1 angka daripada 3; setelah mencapai angka 4 tampaknya hampir semua anak memiliki "a-ha!" momen dan memahami nilai semua integer n adalah lebih besar 1 dari angka sebelumnya). Secara sederhana, primata lain belajar arti dari angka satu persatu dengan menggunakan pendekatan yang sama dengan mengacu pada simbol sementara anak-anak pertama cukup mempelajari daftar dari simbol (1,2,3,4...) dan kemudian nantinya mereka akan mempelajari arti sebenarnya. [108] Hasil ini dapat dilihat sebagai bukti dari aplikasi dari "open-ended generative property" dari bahasa dalam pengenalan angka pada manusia. [109]

Struktur Linguistik

Prinsip Lexical-phonological

Hocket (1966) memberikan daftar rincian fitur yang penting untuk menjelaskan bahasa manusia. Dalam wilayah prinsip lexical-phonological, dua fitur dari daftar tersebut yang sangat utama:
  • Produktifitas: pengguna dapat membuat dan memahami pesan yang sangat asing.
    • Pesan baru secara bebas diciptakan oleh pencampuran, menganalisa dari, atau merubah yang lama.
    • Tidak ada elemen baru atau lama yang secara bebas menjadi semantik baru karena lingkungan dan konteks. Hal ini mengatakan bahwa di setiap bahasa, idiom baru secara konstan tercipta.
  • Dualitas (dalam pola): sejumlah elemen yang memiliki arti adalah hasil ciptaan dari sejumlah kecil elemen yang kurang berarti secara tersendiri dan berbeda-arti.
Sistem suara dari bahasa terbentuk dari sejumlah item-item fonologi sederhana. Dengan aturan tertentu phonotactic dari suatu bahasa, item-item tersebut dapat digabung ulang dan disatukan, melahirkan morfologi dan kosa kata terbuka. Fitur kunci dari bahasa adalah sebuah, sejumlah item-item fonologi yang terbatas melahirkan sistem kosa kata yang tidak terbatas dimana aturan-aturan menentukan bentuk dari setiap item, dan artinya terkait dengan bentuknya. Sintak fonologi adalah kombinasi sederhana dari unit fonologi yang sudah ada. Terkait dengan hal tersebut adalah fitur utama lain dari bahasa manusia: sintak leksikal (kosa kata), dimana unit yang sudah ada digabungkan, menghasilkan item baru secara semantik (arti) atau berbeda secara kosa kata.
Beberapa elemen dari prinsip lexical-phonological diketahui ada diluar manusia. Bila semua (atau hampir kesemua) telah didokumentasikan dalam suatu bentuk dalam dunia alami, hanya sedikit yang ada dalam satu spesies yang sama. Nyanyian burung, kera, dan suara paus semuanya memperlihatkan sintak fonologi, gabungan unit suara menjadi struktur besar tanpa meningkatkan atau memberi arti baru. Beberapa spesies primata memiliki sistem fonologi sederhana dengan unit-unit menunjuk pada beberapa entiti di dunia. Namun, perbedaannya dengan sistem manusia, unit-unit pada sistem primata tersebut biasanya terjadi dalam isolasi, mengkhianati tidak adanya sintak lexical. Ada sebuah bukti baru yang menyatakan bahwa monyet Campbell juga memperlihatkan sintak leksikal, menggabungkan dua teriakan (teriakan peringatan adanya predator dengan "boom", sebuah gabungan yang menyatakan berkurangnya bahaya), namun masih belum jelas apakah itu adalah leksikal atau fenomena morfologi.

Pijin dan kreol

Pijin adalah bahasa yang secara signifikan disederhanakan dengan hanya tata-bahasa yang belum sempurna dan kosa kata yang terbatas. Pada masa awal perkembangannya pijin hanya terdiri dari kata benda, kata kerja, dan kata keterangan dengan sedikit atau tanpa pasal, kata depan, kata penghubung atau kata bantu kerja. Tata bahasanya tidak memiliki urutan kata dan kata-katanya tidak ada nada suara. [110]
Jika komunikasi terjadi antara kelompok yang menggunakan pijin untuk waktu yang lama, pijin akan menjadi komplek dalam beberapa generasi. Jika anak dalam satu generasi menggunakan pijin sebagai bahasa natif maka ia akan berkembang menjadi bahasa kreol, yang makin teratur dan menggunakan tata-bahasa yang lebih rumit, dengan fonologi yang teratur, sintak, morfologi, dan penggunaan sintaktis. Sintak dan morfologi dari bahasa itu bisa saja memiliki inovasi lokal sendiri yang tidak diturunkan dari bahasa orang tuanya.
Penelitian terhadap bahasa kreol diseluruh dunia telah menjelaskan bahwa mereka memiliki kesamaan yang luar biasa dalam tata-bahasa dan berkembang secara seragam dari pijin dalam satu generasi. Kesamaan ini jelas kelihatan walaupun kreol tidak memiliki sumber yang sama. Sebagai tambahan, kreol memiliki kesamaan walaupun terbentuk dalam isolasi yang berbeda satu dengan yang lain. Kesamaan sintak termasuk urutan kata dalam Subjek-KataKerja-Objek (SKO). Bahkan bila kreol berasal dari bahasa dengan urutan kata yang berbeda mereka sering berkembang menjadi urutan SKO. Kreol condong memiliki kesamaan pola penggunaan untuk klausa yang pasti dan tak pasti, dan memiliki aturan perubahan untuk struktur kalimat walaupun pada bahasa asalnya tidak ada. [110]

Rentang waktu evolusiner

Bahasa Primata

Bidang ahli primatologi dapat memberikan kita gambaran mengenai cara Kera Besar berkomunikasi di alam liar. [111] Penemuan utamanya yaitu primata selain-manusia, termasuk kera besar, menghasilkan suara-suara yang bergradasi sebagai lawan dari terdiferensiasi berdasarkan kategori, dengan pendengar berusaha untuk mengevaluasi gradasi halus di bagian-bagian emosional dan keadaan tubuh dari si pemberi sinyal. Kera sangat sulit menghasilkan vokalisasi tanpa adanya keadaan yang berkaitan dengan emosi. [112] Dalam penangkaran, kera telah diajarkan bentuk-bentuk dasar dari bahasa isyarat dan telah dibujuk untuk menggunakan lexigram -- simbol-simbol yang secara grafis tidak menggambarkan kata -- pada papanketik komputer. Beberapa kera, seperti Kanzi, telah belajar dan menggunakan ratusan lexigram. [113] [114]
Area Broca dan Area Wernicke pada otak primata bertanggung jawab untuk mengontrol otot dari muka, lidah, mulut, dan laring, dan juga untuk mengenali suara. Primata dikenal membuat "teriakan vokal"", dan teriakan ini dibuat oleh sirkuit dalam batang-otak dan sistem limbik. [115] Rupanya, pemindain modern pada otak pada simpanse yang sedang mengoceh membuktikan bahwa mereka menggunakan area Broca untuk mengoceh. [116] dan ada bukti bahwa monyet-monyet yang mendengar monyet lain berceloteh menggunakan wilayah otak yang sama seperti manusia mendengarkan pembicaraan. [117]
Di alam liar, komunikasi monyet vervet telah banyak dipelajari. [110] Mereka dikenal karena membuat sepuluh vokalisasi yang berbeda. Banyak darinya digunakan untuk memperingati anggota dari grup apabila predator mendekat. Mereka termasuk "teriakan leopard", "teriakan ular", dan "teriakan elang". Setiap teriakan memicu strategi pertahanan yang berbeda pada monyet yang mendengar teriakan tersebut dan ilmuwan dapat memperoleh respon yang terprediksi dari monyet dengan menggunakan speaker dan suara rekaman. Vokalisasi yang lain digunakan untuk identifikasi. Jika bayi monyet berteriak, ibunya akan menoleh kepadanya, tapi ibu monyet vervet yang lain menoleh ke ibu monyet tersebut untuk melihat apa yang akan dilakukannya. [118]
Dengan cara yang sama, para peneliti telah memperlihatkan bahwa simpanse (dalam penangkaran) menggunaan "kata" yang berbeda untuk menunjuk pada makanan yang berbeda. Mereka merekam vokalisasi yang dibuat oleh simpanse tersebut, sebagai contoh, untuk anggur, dan simpanse yang lain akan menunjuk ke gambar anggur bila dipedengarkan suara tersebut.[rujukan?]

Awal-Homo

Mengenai pengucapan, ada spekulasi yang patut dipertimbangkan mengenai kemampuan bahasa dari awal-Homo (2,5 sampai 0,8 juta tahun yang lalu). Secara anatomi, beberapa ahli percaya kemampuan bipedalisme, yang berkembang dalam australopithecine sekitar 3,5 juta tahun lalu, telah membawa perubahan pada tengkorak, membuat sistem vokal lebih banyak berbentuk L-nya. Bentuk dari trak dan laring yang terletak dekat di bawah leher merupakan prasyarat penting bagi kebanyakan suara yang dihasilkan manusia, terutama sekali pada huruf hidup. Ilmuwan lain percaya bahwa, berdasarkan posisi laring, Neanderthal tidak memiliki anatomi yang dibutuhkan untuk menghasilkan suara secara penuh yang dibuat oleh manusia modern. [119] [120] Tetap saja ada yang berpendapat bahwa rendahnya laring tidak mempengaruhi perkembangan kemampuan berbicara. [121]
Istilah bahasa-purba, yang didefinisikan oleh linguis Derek Bickerton, adalah bentuk primitif dari komunikasi yang memiliki kekurangan:
  • sintaks yang lengkap
  • kata penunjuk waktu, aspek, kata kerja bantu, dll.
  • kosa kata kelas-tertutup (misalnya, non-leksikal)
Sebuah tingkat dalam evolusi bahasa berada di antara bahasa kera besar dan bahasa manusia modern yang telah lengkap. Bickerton (2009) menempatkan pertama munculnya bahasa-purba dengan munculnya Homo awal, dan menghubungkan kemunculannya dengan tekanan adaptasi perilaku terhadap konstruksi niche dari memulung yang dihadapi oleh Homo habilis. [122]
Fitur anatomis seperti vokal huruf L berevolusi terus-menerus, tidak muncul tiba-tiba. [123] Makanya lebih memungkinkan bila Homo habilis dan Homo erectus selama Lower Pleistocene memiliki semacam bentuk komunikasi sederhana antara manusia modern dan primata lainnya. [124]

Homo sapiens purba

Steven Mithen mengusulkan istilah Hmmmmm terhadap sistem komunikasi pra-linguistik yang digunakan oleh Homo purba, dimulai dari Homo ergaster dan mencapai tingkat tertinggi penggunaannya di masa Pleistosen Tengah pada Homo heidelbergensis dan Homo neanderthalensis. Hmmmmm adalah akronim dari kata bahasa Inggris untuk holistic (bukan-gabungan), manipulatif (ucapan merupakan perintah atau sugesti, bukan penjelasan), multi-modal (akustik sebagaimana gestur dan mimik), musical (bersifat musik), dan memetic. [125]

Homo heidelbergensis

H. heidelbergensis adalah kerabat dekat (kebanyakan mungkin karena turunan dari bermigrasi) dari Homo ergaster. H. ergaster dikatakan sebagai hominid pertama yang bersuara, [126] dan H. heidelbergensis mengembangkan kultur yang lebih rumit sejak dari titik tersebut dan mungkin mengembangkan bentuk bahasa simbolik pertama.

Homo neanderthalensis

Penemuan tulang hyoid Neanderthal di tahun 2007 menyatakan bahwa Neanderthal secara anatomis bisa saja menghasilkan suara seperti manusia modern. Saraf hypoglossal, yang dikirim lewat kanal, mengontrol pergerakan lidah dan ukurannya dikatakan mempengaruhi kemampuan berbicara. Hominid yang hidup lebih dari 300,000 tahun lalu memiliki kanal hypoglossal lebih mirip dengan simpanse daripada manusia. [127] [128] [129]
Walaupun Neanderthal memiliki anatomi yang memungkinkan untuk berbicara, Richard G. Klein pada tahun 2004 meragukan bahwa mereka memiliki bahasa seperti bahasa modern. Keraguan dia berdasarkan catatan fosil dari manusia purba dan peralatan batunya. Sejak 2 juta tahun setelah munculnya Homo habilis, teknologi batu dari hominid berubah sangat sedikit. Klein, yang telah bekerja lama dengan alat-alat batu, menjelaskan alat batu yang kasar pada manusia purba membuatnya tidak mungkin untuk dikelompokkan berdasarkan fungsinya, dan melaporkan bahwa Neanderthal tidak begitu peduli bagaimana bentuk akhir dari alat-alat mereka. Klein berargumen bahwa otak Neanderthal belum mencapai tingkat kompleksitas untuk berbicara secara modern, walaupun komponen fisik untuk menghasilkan suara telah berkembang. [130] [131] Isu mengenai tingkat kultur dan teknologi dari Neanderthal masih menjadi salah satu kontroversi.

Homo sapiens

Anatomi manusia modern pertama muncul dalam catatan fosil 195.000 tahun yang lalu di Ethiopia. Tapi walau modern secara anatomis, bukti arkeologi yang ada meninggalkan hanya sedikit indikasi bahwa mereka berperilaku berbeda dengan Homo heidelbergensis. Mereka memiliki alat batu Acheulean yang sama dan berburu sedikit efisien dari manusia modern Late Pleistocene. [132] Transisi ke yang lebih canggih Mousterian terjadi sekitar 120,000 tahun lalu, dan ini terjadi pada masa H. sapiens dan H. neanderthalensis.
Perkembangan Perilaku modernitas pada H. sapiens, yang tidak terjadi pada H. neanderthalensis atau variasi Homo lainnya, berkisar antara 70.000 sampai 50.000 tahun yang lalu.
Perkembangan alat yang lebih canggih, pertama kalinya terbentuk lebih dari satu materi (contoh: tulang atau tanduk) dan dapat dikelompokan dalam beberapa kategori dan fungsi (seperti ujung proyektil, alat ukir, pisau, dan alat penggerekan dan tusuk) dianggap sebagai bukti munculnya dan berkembangnya bahasa yang utuh, diasumsikan karena ia dibutuhkan untuk mengajarkan proses manufaktur kepada para turunannya. [130] [133]
Langkah terbesar[diragukan ] dalam evolusi bahasa adalah progres dari primitif, komunikasi seperti bahasa pijin ke komunikasi berbentuk kreol dengan tata-bahasa dan sintak seperti bahasa modern. [110]
Beberapa ahli percaya bahwa langkah ini hanya dapat terjadi karena perubahan biologis pada otak, seperti mutasi. Juga dikatakan bahwa gen seperti FOXP2 mungkin telah bermutasi membuat manusa dapat berkomunikasi.[diragukan ] Namun, penelitian genetik terbaru memperlihatkan bahwa Neandertal berbagi FOXP2 dengan H. sapiens. [134] Oleh sebab itu ia tidak memiliki mutasi yang unik dengan H. sapiens. Malahan, ia mengindikasikan bahwa perubahan genetik mendahului Neandertal -- H. sapiens terpisah.
Masih banyak debat tentang apakah bahasa berkembang secara bertahap selama ribuan tahun atau muncul secara langsung.
Area Broca dan Wernicke pada otak primata juga muncul di otak manusia, area pertama yang ikut serta dalam banyak pekerjaan kognitif dan persepsi, yang berakhir pada kemampuan berbahasa. Sirkuit yang sama pada otak primata, sistem stem dan limbic, mengatur suara non-verbal pada manusia (tertawa, menangis, dll), yang menyatakan bahwa pusat bahasa manusia adalah modifikasi sirkuit neural yang umum pada semua primata. Modifikasi dan skil untuk komunikasi linguis ini tampak sangat unik pada manusia, yang menyiratkan bahwa organ bahasa yang diturunkan setelah garis keturunan manusia terpisah dari garis keturunan primata (simpanse dan bonobo). Secara jelas menyatakan, bahasa kata adalah modifikasi dari laring yang unik pada manusia. [115]
Menurut hipotesis Asal-usul dari Afrika, sekitar 50.000 tahun lalu [135] sekelompok manusia meninggalkan Afrika dan berlanjut mendiami hampir sebagian dari bumi, termasuk Australia dan Amerika, yang mana belum pernah dihuni oleh hominid kuno. Beberapa ilmuwan [136] percaya bahwa Homo sapiens tidak meninggalkan Afrika sebelum itu, karena mereka belum memiliki kesadaran dan bahasa modern, dan makanya tidak memiliki kemampuan atau jumlah yang dibutuhkan untuk migrasi. Walaupun demikian, adanya fakta bahwa Homo erectus berhasil meninggalkan benua lebih awal (tanpa kemampuan yang luas dari bahasa, peralatan yang memadai, atau anatomi yang modern), alasan kenapa anatomi manusia modern masih berada di Afrika untuk waktu yang lama masih belum jelas.

Skenario Biologis pada evolusi bahasa

Semua manusia memiliki bahasa. Ini termasuk populasi, seperti Tasmanian dan Andamanese, yang telah terisolasi dari benua Old World selama 40.000 tahun lebih.
Linguistik monogenesis adalah hipotesis bahwa ada sebuah proto-bahasa, terkadang disebut dengan proto-manusia, dimana semua vokal pada bahasa yang diucapkan oleh manusia diturunkan. (Hal ini tidak berlaku pada bahasa isyarat, yang diketahui muncul secara tersendiri.)
Hipotesis multiregional mengharuskan bahwa bahasa modern berkembang secara tersendiri di semua benua, sebuah dalil yang dianggap masuk akal oleh pendukung monogenesis. [137] [138]

Fondasi Biologis dari bahasa manusia

Descended laring dikenal sebagai struktur unik pada sistem vokal manusia dan penting sekali dalam perkembangan bicara dan bahasa. Namun, ia juga telah ditemukan di spesies lainnya, termasuk mamalia laut dan rusa besar (contohnya:Red Deer), dan laring diobservasi telah diwarisi selama vokalisasi pada anjing, kambing, dan buaya. Pada manusia, descended laring menyebabkan panjangnya sistem vokal dan mengembangkan jenis-jenis suara manusia yang dapat dikeluarkan. Beberapa ilmuwan mengklaim bahwa adanya komunikasi non-verbal pada manusia sebagai bukti dari descended laring bukan bagian esensial terhadap perkembangan bahasa.
Descended laring memiliki fungsi selain linguistik juga, mungkin terlalu membesar-besarkan ukuran yang terlihat pada binatang (lewat vokalisasi yang rendah dari nada yang diharapkan). Karenanya, walaupun memainkan peranan penting dalam menghasilkan suara, memperluas keberagaman suara yang dapat dihasilkan manusia, ia mungkin tidak berkembang secara khusus untuk tujuan tersebut, seperti yang disarankan oleh Jeffrey Laitman, dan oleh Hauser, Chomsky, dan Fitch (2002), bisa saja merupakan contoh dari praadaptasi.
Kemampuan mengkontrol lidah manusia juga harus diperhitungkan. Sebagai akibat dari meningkatnya intelegensi, otak manusia dapat mengkontrol organ dan sekelilingnya secara lebih tepat. Oleh karena itu, lidah lebih kreatif dalam meliukkan, menggabungkan, menghentikan dan mengeluarkan getar suara yang dihasilkan oleh laring.

Sejarah

Dalam agama dan mitologi

Pencarian terhadap asal mula bahasa memiliki sejarah yang panjang berakar dari mitologi. Kebanyakan mitologi tidak menghargai manusia sebagai penemu bahasa tetapi ucapan dari bahasa Ilahi mendahului bahasa manusia. Bahasa mistik digunakan untuk berkomunikasi dengan binatang atau roh, seperti bahasa burung, juga banyak, dan memiliki ketertarikan sendiri pada masa Renaissance.

Percobaan Historis

Sejarah memiliki sejumlah anekdot tentang orang yang mencoba menemukan asal mula bahasa dengan bereksperimen. Kisah pertama diceritakan oleh Herodotus (Sejarah 2.2). Ia mengatakan bahwa Pharaoh Psammetichus (mungkin Psammetichus I, dari abad ke 7) memiliki dua anak yang dibesarkan oleh seorang penggembala, dengan instruksi bahwa tidak ada yang boleh berbicara dengan mereka, tapi si penggembala harus memberi makan dan menjaga mereka sementara mendengarkan kata pertama mereka. Saat salah satu anak menangiskan kata "bekos" dengan tangan yang terulur si penggembala mengasumsikan bahwa kata tersebut adalah Phrygian karena seperti itulah suara Phrygian untuk kata roti. Dari hal tersebut Psammetichus menyimpulkan bahwa bahasa pertama adalah Phrygian. Raja James V of Scotland dikatakan melakukan percobaan yang sama: anaknya dikatakan berbicara Bahasa Hebrew. [139] Dua raja pada abad pertengahan Frederick II dan Akbar dikatakan melakukan percobaan yang sama; anak yang ikut dalam percobaan tersebut tidak berbicara. [140]

Sejarah penelitian

Akhir abad 18 sampai awal abad 19 ilmuwan Eropa mengasumsikan bahwa bahasa di dunia merefleksikan bermacam tingkatan perkembangan dari primitif sampai ucapan tingkat lanjut, mencapai puncaknya pada rumpun bahasa Indo-Eropa, dianggap sebagai yang paling berkembang.[rujukan?]
Linguistik modern tidak muncul sampai akhir abad 18, dan tesis Romantis atau animisme dari Johann Gottfried Herder dan Johann Christoph Adelung masih berpengaruh sampai abad 19. Pertanyaan mengenai asal mula bahasa tampak tidak dapat dimasuki pendekatan metodis, dan pada tahun 1866 Linguistic Society of Paris secara terkenal melarang semua diskusi mengenai asal mula bahasa, menganggapnya sebagai masalah yang tidak terjawab. Meningkatnya pendekatan sistematik terhadap sejarah linguistik berkembang pada abad 19, mencapai puncaknya pada Neogrammarian ajaran dari Karl Brugmann dan lainnya.
Walaupun begitu, ketertarikan ilmuwan terhadap pertanyaan dari asal mula bahasa secara berangsur-angsur hidup kembali sejak tahun 1950-an (dan secara kontroversial) dengan ide-ide seperti Tata bahasa universal, Perbandingan massa dan glottochronology.
"Asal mula bahasa" sebagai subjek tersendiri muncul dari pembelajaran dalam neurolinguistik, psikolinguistik dan evolusi manusia. Linguistic Bibliography memperkenalkan "Origin of language" (asal mula bahasa) sebagai topik terpisah pada tahun 1988, sebagai sub-topik dari psikolinguistik. Institut penelitian khusus terhadap evolusi linguistik adalah fenomena baru, muncul sejak tahun 1990-an.

Asal mula Bahasa Isyarat Nikaragua

Pada awal tahun 1979, pemerintahan baru di Nikaragua memulai usaha pertama untuk mendidik anak tuli secara luas. Sebelumnya tidak ada komunitas tuli di negara tersebut. Pusat untuk pendidikan khusus tersebut menyelesaikan sebuah program yang awalnya didatangi oleh 50 orang anak tuli. Tahun 1983 tempat tersebut memiliki 400 murid. Tempat tersebut tidak memiliki akses terhadap fasilitas pengajaran dari bahasa isyarat yang digunakan di belahan dunia lain; sehingga, anak-anak tidak diajarkan bahasa isyarat apapun. Program bahasa menekankan pada bahasa Spanyol dan pembacaan mulut, dan penggunaan isyarat oleh pengajar terbatas pada pengejaan jari (menggunakan isyarat sederhana untuk menandakan huruf). Program tersebut mencapai sukses yang sedikit, dengan kebanyakan murid gagal menangkap konsep dari kata-kata Spanyol.
Anak pertama yang sampai ke tempat tersebut datang hanya dengan beberapa isyarat gestur kasar yang dikembangkan di antara keluarganya sendiri. Namun, saat anak-anak ditempatkan bersama untuk pertama kalinya mereka mulai membuat isyarat-isyarat satu dengan yang lain. Saat banyak murid muda yang lain bergabung, bahasa mereka menjadi lebih kompleks. Pengajar dari anak-anak, yang memiliki kesuksesan terbatas berkomunikasi dengan anak-anak, melihat terpesona saat anak-anak mulai berkomunikasi di antara mereka.
Akhirnya pemerintahan Nikaragua meminta pertolongan kepada Judy Kegl, seorang ahli bahasa isyarat di Universitas Northeastern dari Amerika. Saat Kegl dan para peneliti lainnya mulai menganalisa bahasanya, mereka mendapatkan bahwa anak yang lebih muda menggunakan bentuk seperti pijin dari anak yang lebih tua dengan kompleksitas yang lebih tinggi, dengan persamaan kata kerja dan konvensi tata-bahasa lainnya. [141]

Lihat juga

Catatan

  1. ^ Stam, J. H. 1976. Inquiries into the origins of language. New York: Harper and Row, p. 255.
  2. ^ Tallerman, Maggie; Gibson, Kathleen (2011). The Oxford Handbook of Language Evolution. Oxford: Oxford University Press. ISBN 0-19-954111-6, 9780199541119.
  3. ^ Müller, F. M. 1996 [1861]. The theoretical stage, and the origin of language. Lecture 9 from Lectures on the Science of Language. Reprinted in R. Harris (ed.), The Origin of Language. Bristol: Thoemmes Press, pp. 7-41.
  4. ^ Christiansen, M. H. and S. Kirby, 2003. Language evolution: the hardest problem in science? In M. H. Christiansen and S. Kirby (eds), Language Evolution. Oxford: Oxford University Press, pp. 1- 15.
  5. ^ Ulbaek, Ib (1998). "The Origin of Language and Cognition". di dalam J. R. Hurford & C. Knight. Approaches to the evolution of language. Cambridge University Press. hlm. 30–43.
  6. ^ Chomsky, N. (2004). Language and Mind: Current thoughts on ancient problems. Part I & Part II. In Lyle Jenkins (ed.), Variation and Universals in Biolinguistics. Amsterdam: Elsevier, pp. 379-405.
  7. ^ Chomsky, N. (2005). Three factors in language design. Linguistic Inquiry 36(1): 1-22.
  8. ^ Pinker, S. and P. Bloom (1990). Natural language and natural selection. Behavioral and Brain Sciences 13: 707-84.
  9. ^ Pinker, S. (1994). The Language Instinct. London: Penguin.
  10. ^ Ulbaek, I. (1998). The origin of language and cognition. In J. R. Hurford, M. Studdert-Kennedy and C. D. Knight (eds), Approaches to the evolution of language: social and cognitive bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 30-43.
  11. ^ Tomasello, M. 1996. The cultural roots of language. In Velichkovsky, B. M. and D. M. Rumbaugh (eds), Communicating Meaning. The evolution and development of language. Mahwah, NJ: Erlbaum, pp. 275-307.
  12. ^ Pika, S. and Mitani, J. C. 2006. 'Referential gesturing in wild chimpanzees (Pan troglodytes)'. Current Biology, 16.191-192.
  13. ^ The Economist , The evolution of language: Babel or babble? , 16 April 2011 , pp. 85-86.
  14. ^ Cross, I. & Woodruff, G. E. (2009). Music as a communicative medium. In R. Botha and C. Knight (eds) The Prehistory of Language (pp113-144), Oxford: Oxford University Press, pp. 77-98.
  15. ^ Knight, C. and C. Power (2011). Social conditions for the evolutionary emergence of language. In M. Tallerman and K. Gibson (eds), Handbook of Language Evolution. Oxford: Oxford University Press, pp. 346-49.
  16. ^ Rappaport, R. A. (1999). Ritual and Religion in the Making of Humanity. Cambridge: Cambridge University Press.
  17. ^ Knight, C. (2010). 'Honest fakes' and language origins. Journal of Consciousness Studies , 15: 10-11 , pp. 236-48.
  18. ^ Knight, C. (2010). The origins of symbolic culture. In Ulrich J. Frey, Charlotte Störmer and Kai P. Willfuhr (eds) 2010. Homo Novus – A Human Without Illusions. Berlin, Heidelberg: Springer-Verlag, pp. 193-211.
  19. ^ Knight, C. 1998. Ritual/speech coevolution: a solution to the problem of deception. In J. R. Hurford, M. Studdert-Kennedy and C. Knight (eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and cognitive bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 68-91.
  20. ^ Knight, C. 2006. Language co-evolved with the rule of law. In A. Cangelosi, A. D. M. Smith and K. Smith (eds) The evolution of language. Proceedings of the Sixth International Conference (EVOLANG 6). New Jersey & London: World Scientific Publishing, pp. 168-75.
  21. ^ Savage-Rumbaugh, E.S. and K. McDonald (1988). Deception and social manipulation in symbol-using apes. In R. W. Byrne and A. Whiten (eds), Machiavellian Intelligence. Oxford: Clarendon Press, pp. 224-237.
  22. ^ Kegl, J., A. Senghas and M. Coppola (1998). Creation through Contact: Sign language emergence and sign language change in Nicaragua. In M. DeGraff (ed.), Language Creation and Change: Creolization, Diachrony and Development. Cambridge, MA: MIT Press.
  23. ^ Lieberman, P. and E. S. Crelin (1971). On the speech of Neandertal Man. Linguistic Inquiry 2: 203-22.
  24. ^ Arensburg, B., A. M. B. Vandermeersch, H. Duday, L. A. Schepartz and Y. Rak (1989). A Middle Palaeolithic human hyoid bone. Nature 338: 758-760.
  25. ^ Diller, K. C. and R. L. Cann (2009). Evidence against a genetic-based revolution in language 50,000 years ago. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 135-149.
  26. ^ Henshilwood, C. S. and B. Dubreuil (2009). Reading the artifacts: gleaning language skills from the Middle Stone Age in southern Africa. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 41-61.
  27. ^ Knight, C., (2009). Language, ochre and the rule of law. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 281-303.
  28. ^ Watts, I. (2009). Red ochre, body painting, and language: interpreting the Blombos ochre. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 62-92.
  29. ^ Arcadi, A. C. 2000. Vocal responsiveness in male wild chimpanzees: implications for the evolution of language. Journal of Human Evolution, 39, 205-223.
  30. ^ Johanna Nichols, 1998. The origin and dispersal of languages: Linguistic evidence. In Nina Jablonski and Leslie C. Aiello, eds., The Origin and Diversification of Language, pp. 127-70. (Memoirs of the California Academy of Sciences, 24.) San Francisco: California Academy of Sciences.
  31. ^ Perreault, C. and S. Mathew, 2012. Dating the origin of language using phonemic diversity. PLoS ONE 7(4): e35289. Doi:10.1371/journal.pone.0035289.
  32. ^ Botha, R. and C. Knight (eds) 2009. The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press.
  33. ^ Pinker, S. (2003) Language as an adaptation to the cognitive niche, in M. H. Christiansen and S. Kirby (eds), Language Evolution. Oxford: Oxford University Press, pp. 16-37.
  34. ^ Sampson, G., D. Gil and P. Trudghill (eds), Language Complexity as an Evolving Variable. Oxford: Oxford University Press.
  35. ^ Darwin, C. (1871). "The Descent of Man, and Selection in Relation to Sex", 2 vols. London: Murray, p. 56.
  36. ^ Müller, F. M. 1996 [1861]. The theoretical stage, and the origin of language. Lecture 9 from Lectures on the Science of Language. Reprinted in R. Harris (ed.), The Origin of Language. Bristol: Thoemmes Press, pp. 7-41.
  37. ^ Paget, R. 1930. Human speech: some observations, experiments, and conclusions as to the nature, origin, purpose and possible improvement of human speech. London: Routledge & Kegan Paul.
  38. ^ Firth, J. R. 1964. The Tongues of Men and Speech. London: Oxford University Press, pp. 25-6.
  39. ^ Stam, J. H. 1976. Inquiries into the origins of language. New York: Harper and Row, p. 243-44.
  40. ^ a b Zahavi, A. 1993. The fallacy of conventional signalling. Philosophical Transactions of the Royal Society of London. 340: 227-230.
  41. ^ Maynard Smith, J. 1994. Must reliable signals always be costly? Animal Behaviour 47: 1115-1120.
  42. ^ Goodall, J. 1986. The Chimpanzees of Gombe. Patterns of behavior. Cambridge, MA and London: Belknap Press of Harvard University Press.
  43. ^ Byrne, R. and A. Whiten (eds) 1988. Machiavellian Intelligence. Social expertise and the evolution of intellect in monkeys, apes, and humans. Oxford: Clarendon Press.
  44. ^ Knight, C. 1998b. Ritual/speech coevolution: a solution to the problem of deception. In J. R. Hurford, M. Studdert-Kennedy and C. Knight (eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and cognitive bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 68-91.
  45. ^ Power, C. 1998. Old wives’ tales: the gossip hypothesis and the reliability of cheap signals. In J. R. Hurford, M. Studdert Kennedy and C. Knight (eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and Cognitive Bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 111 29.
  46. ^ Fitch, W. T. 2004. Kin Selection and ``Mother Tongues: A Neglected Component in Language Evolution. In D. Kimbrough Oller and Ulrike Griebel (eds), Evolution of Communication Systems: A Comparative Approach, pp. 275-296. Cambridge, MA: MIT Press.
  47. ^ Hamilton, W. D. 1964. The genetical evolution of social behaviour. I, II. Journal of Theoretical Biology 7: 1-52.
  48. ^ Tallerman, M. In press. Kin selection, pedagogy and linguistic complexity: whence protolanguage. In R. Botha and M. Everaert (eds), The Evolutionary Emergence of Human Language. Oxford: Oxford University Press.
  49. ^ Ulbaek, I. 1998. The origin of language and cognition. In J. R. Hurford, M. Studdert-Kennedy and C. D. Knight (eds), Approaches to the evolution of language: social and cognitive bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 30-43.
  50. ^ Trivers, R. L. 1971. The evolution of reciprocal altruism. Quarterly Review of Biology 46: 35-57.
  51. ^ Knight, C. 2006. Language co-evolved with the rule of law. In A. Cangelosi, A. D. M. Smith and K. Smith (eds), The evolution of language. Proceedings of the Sixth International Conference (EVOLANG6). New Jersey & London: World Scientific Publishing, pp. 168-75.
  52. ^ Dessalles, J.-L. 1998. Altruism, status and the origin of relevance. In J. R. Hurford, M. Studdert-Kennedy and C. Knight (eds), Approaches to the Evolution of Language. Social and cognitive bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 130-147.
  53. ^ Dunbar, R. I. M. 1996. Grooming, Gossip and the Evolution of Language. London: Faber and Faber.
  54. ^ Power, C. 1998. Old wives’ tales: the gossip hypothesis and the reliability of cheap signals. In J. R. Hurford, M. Studdert Kennedy and C. Knight (eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and Cognitive Bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 111-29.
  55. ^ Rappaport, R. A. 1999. Ritual and Religion in the Making of Humanity. Cambridge: Cambridge University Press.
  56. ^ Knight, C. 1998. Ritual/speech coevolution: a solution to the problem of deception. In J. R. Hurford, M. Studdert-Kennedy and C. Knight (eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and cognitive bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 68-91.
  57. ^ Lewis, J. 2009. As well as words: Congo Pygmy hunting, mimicry, and play. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 236-256.
  58. ^ Enfield, N. J. (2010). Without social context? Science, 329, 1600–1601.
  59. ^ Power, C. 1998. Old wives’ tales: the gossip hypothesis and the reliability of cheap signals. In J. R. Hurford, M. Studdert Kennedy and C. Knight (eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and Cognitive Bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 111 29.
  60. ^ Watts, I. 2009. Red ochre, body painting, and language: interpreting the Blombos ochre. In R. Botha and C. Knight (eds), The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 62-92.
  61. ^ Steels, L. 2009. Is sociality a crucial prerequisite for the emergence of language? In R. Botha and C. Knight (eds), The Prehistory of Language. Oxford: Oxford University Press.
  62. ^ Deacon, T. 1997. The Symbolic Species: The co evolution of language and the human brain. London: Penguin.
  63. ^ Knight, C. 2010. The origins of symbolic culture. In Ulrich J. Frey, Charlotte Störmer and Kai P. Willfuhr (eds) 2010. Homo Novus – A Human Without Illusions. Berlin, Heidelberg: Springer-Verlag, pp. 193-211.
  64. ^ Rappaport, R. A. 1979. Ecology, Meaning, and Religion. Berkeley, California: North Atlantic Books.
  65. ^ Searle, J. R. 1996. The Construction of Social Reality. London: Penguin.
  66. ^ Durkheim, E. 1947 [1915]. Origins of these beliefs. Chapter VII. In É. Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life. A study in religious sociology. Trans. J. W. Swain. Glencoe, Illinois: The Free Press, pp. 205-39.
  67. ^ Noam Chomsky (2011): Language and Other Cognitive Systems. What Is Special About Language? , Language Learning and Development , 7:4 , 263-278
  68. ^ Chomsky, N. 2005. Three factors in language design. Linguistic Inquiry 36(1): 1-22.
  69. ^ Knight, C. 2008. ‘Honest fakes’ and language origins. Journal of Consciousness Studies, 15, No. 10–11, 2008, pp. 236–48.
  70. ^ Premack, David & Premack, Ann James. The Mind of an Ape, ISBN 0-393-01581-5.
  71. ^ Kimura, Doreen (1993). Neuromotor Mechanisms in Human Communication. Oxford: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-505492-7.
  72. ^ Newman, A. J., et al. (2002). "A Critical Period for Right Hemisphere Recruitment in American Sign Language Processing". Nature Neuroscience 5 (1): 76–80. doi:10.1038/nn775. PMID 11753419.
  73. ^ Corballis, M. C. 2002. Did language evolve from manual gestures? In A. Wray (ed.), The Transition to Language. Oxford: Oxford University Press, pp. 161-179.
  74. ^ Knight, C. 2008. Language co-evolved with the rule of law. Mind and Society 7(1): 109-128.
  75. ^ Knight, C. 1998. Ritual/speech coevolution: a solution to the problem of deception. In J. R. Hurford, M. Studdert-Kennedy and C. Knight (eds), Approaches to the Evolution of Language: Social and cognitive bases. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 68-91.
  76. ^ Knight, C. 2000. Play as precursor of phonology and syntax. In Knight, C., M. Studdert-Kennedy and J. R. Hurford (eds), 2000. The Evolutionary Emergence of Language. Social function and the origins of linguistic form. Cambridge: Cambridge University Press, pp. 99-119.
  77. ^ Knight, C. 2008. 'Honest fakes' and language origins. Journal of Consciousness Studies, 15(10-11), pp. 236-48.
  78. ^ Kolb, Bryan, and Ian Q. Whishaw (2003). Fundamentals of Human Neuropsychology (edisi ke-5th). Worth Publishers. ISBN 978-0-7167-5300-1.
  79. ^ Skoyles, John R., Gesture, Language Origins, and Right Handedness, Psycholoqy: 11,#24, 2000
  80. ^ Petrides, Michael, Cadoret, Genevieve, Mackey, Scott (2005). Orofacial somatomotor responses in the macaque monkey homologue of Broca's area, Nature: 435,#1235
  81. ^ Templat:Cite PMID
  82. ^ Templat:Cite PMID
  83. ^ Templat:Cite PMID
  84. ^ Templat:Cite PMID
  85. ^ Templat:Cite PMID
  86. ^ Schippers, MB; Roebroeck, A; Renken, R; Nanetti, L; Keysers, C (2010). "Mapping the Information flow from one brain to another during gestural communication". Proc Natl Acad Sci U S A. 107 (20): 9388–93. doi:10.1073/pnas.1001791107. PMID 20439736. PMC 2889063.
  87. ^ Moro, Andrea (2008). The Boundaries of Babel. The Brain and the Enigma of Impossible Languages. MIT Press. hlm. 257. ISBN 978-0-262-13498-9..
  88. ^ Falk, D. 2004. Prelinguistic evolution in early Hominins: Whence motherese? Behavioral and Brain Sciences 27: 491-503.
  89. ^ Sperber, D. and D. Wilson 1986. Relevance. Communication and cognition. Oxford: Blackwell.
  90. ^ Deutscher, G. 2005. The Unfolding of Language. The evolution of mankind’s greatest invention. London: Random House.
  91. ^ Hopper, P. J. 1998. Emergent grammar. In M. Tomasello (ed.), The New Psychology of Language. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum, 155-175.
  92. ^ B. Heine and T. Kuteva, 2007. The Genesis of Grammar. A Reconstruction. Oxford: Oxford University Press.
  93. ^ a b Lakoff, G. and M. Johnson 1980. Metaphors We Live By. Chicago: University of Chicago Press.
  94. ^ Heine, B. and Kuteva, T. 2007. The Genesis of Grammar: A Reconstruction. Oxford: Oxford University Press, p. 111.
  95. ^ B. Heine and T. Kuteva, 2012. Grammaticalization theory as a tool for reconstructing language evolution. In M. Tallerman and K. R. Gibson (eds.), The Oxford Handbook of Language Evolution. Oxford: Oxford University Press, pp.512-527.
  96. ^ Cheney, D. L. and R. M. Seyfarth, 2005. Constraints and preadaptations in the earliest stages of language evolution. Linguistic Review 22: 135-59.
  97. ^ Maynard Smith, J. and D. Harper 2003. Animal Signals. Oxford: Oxford University Press.
  98. ^ Davidson, R. D. 1979. What metaphors mean. In S. Sacks (ed.), On Metaphor. Chicago: University of Chicago Press, pp. 29-45.
  99. ^ Lakoff, G. and R. Núñez 2000. Where mathematics comes from. New York: Basic Books.
  100. ^ B. Heine and T. Kuteva 2007. The Genesis of Grammar. A Reconstruction. Oxford: Oxford University Press, p. 164.
  101. ^ Soma, M., Hiraiwa-Hasegawa, M., & Okanoya, K. (2009). "Early ontogenetic effects on song quality in the Bengalese finch (Lonchura striata var. domestica): laying order, sibling competition and song sintax.". Behavioral Ecology and Sociobiology 63 (3): 363–370. doi:10.1007/s00265-008-0670-9.
  102. ^ Graham Ritchie and Simon Kirby (2005). "Selection, domestication, and the emergence of learned communication systems". Second International Symposium on the Emergence and Evolution of Linguistic Communication.
  103. ^ Ursula Goodenough. "Did We Start Out As Self-Domesticated Apes? ", 5 Februari 2010.
  104. ^ Hauser 2002.
  105. ^ Everett, Daniel L. (August–October 2005). "Cultural Constraints on Grammar and Cognition in Pirahã: Another Look at the Design Features of Human Language". Current Anthropology (Tbilisi: Logos) 46 (4): 634. ISBN 99940-31-81-3.
  106. ^ Bolinger, Dwight L. (Editor) 1972. Intonation. Selected Readings. Harmondsworth: Penguin, pg.314
  107. ^ Cruttenden, Alan. 1986. Intonation. Cambridge: Cambridge University Press. Pg.169-174
  108. ^ S. Carey, Mind Lang. 16, 37 (2001)
  109. ^ Hauser, Chomsky, Fitch, Science, Vol. 298, No. 5598 (Nov. 22, 2002), p. 1577
  110. ^ a b c d Diamond, Jared (1992, 2006). The Third Chimpanzee: The Evolution and Future of the Human Animal. New York: Harper Perennial. hlm. 141–167. ISBN 0-06-018307-1.
  111. ^ Arcadi, A. C. (2000). Vocal responsiveness in male wild chimpanzees: implications for the evolution of language. Journal of Human Evolution, 39, 205-223.
  112. ^ Goodall, J. 1986. The Chimpanzees of Gombe. Patterns of behavior. Cambridge, MA and London: Belknap Press of Harvard University Press, p. 125.
  113. ^ S. Savage-Rumbaugh and R. Lewin (1994), Kanzi. The ape at the brink of the human mind. New York: Wily.
  114. ^ Savage-Rumbaugh S, Shanker G, Taylor T J (1998) Apes, Language and the Human Mind. Oxford University Press, Oxford.
  115. ^ a b Freeman, Scott; Jon C. Herron. , Evolutionary Analysis (4th ed.) , Pearson Education, Inc. (2007) , ISBN 0-13-227584-8 pages 789-90
  116. ^ Evolve (tv show): Communication
  117. ^ RedOrbit: Primate and Human Language Use Same Brain Regions
  118. ^ Wade, Nicholas. "Nigerian Monkeys Drop Hints on Language Origin ", (The New York Times), 23 Mei 2006. Diakses pada 9 September 2007.
  119. ^ Aronoff, Mark; Rees-Miller, Janie, eds (2001). The Handbook of Linguistics. Oxford: Blackwell Publishers. hlm. 1–18. ISBN 1-4051-0252-7.
  120. ^ Fitch, W. Tecumseh. "The Evolution of Speech: A Comparative Review" (PDF). Diakses pada 9 September 2007.
  121. ^ John Ohala, (2000). The irrelevance of the lowered larynx in modern man for the development of speech]. In Evolution of Language - Paris conference (pp. 171-172).
  122. ^ Bickerton, Adam's Tongue (2009).
  123. ^ Olson, Steve (2002). Mapping Human History. Houghton Mifflin Books. ISBN 0-618-35210-4. "Any adaptations produced by evolution are useful only in the present, not in some vaguely defined future. So the vocal anatomy and neural circuits needed for language could not have arisen for something that did not yet exist"
  124. ^ Ruhlen, Merritt (1994). Origin of Language. New York, NY: Wiley. hlm. 3. ISBN 0-471-58426-6. "Earlier human ancestors, such as Homo habilis and Homo erectus, would likely have possessed less developed forms of language, forms intermediate between the rudimentary communicative systems of, say, chimpanzees and modern human languages"
  125. ^ Mithen, Steven J. (2006). The Singing Neanderthals: The Origins of Music, Language, Mind, and Body. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 0-674-02192-4.
  126. ^ Mithen, Steven (2006). The Singing Neanderthals, ISBN 978-0-674-02559-8 Templat:Please check ISBN
  127. ^ Jungers, William L. et al. (August 2003). "Hypoglossal Canal Size in Living Hominoids and the Evolution of Human Speech" (PDF). Human Biology 75 (4): 473–484. doi:10.1353/hub.2003.0057. PMID 14655872. Diarsipkan dari yang asli pada 12 Juni 2007. Diakses pada 10 September 2007.
  128. ^ DeGusta, David et al. (1999). "Hypoglossal Canal Size and Hominid Speech". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 96 (4): 1800–1804. doi:10.1073/pnas.96.4.1800. PMID 9990105. "Hypoglossal canal size has previously been used to date the origin of human-like speech capabilities to at least 400,000 years ago and to assign modern human vocal abilities to Neandertals. These conclusions are based on the hypothesis that the size of the hypoglossal canal is indicative of speech capabilities.".
  129. ^ Johansson, Sverker (April 2006). "Constraining the Time When Language Evolved" (PDF). Evolution of Language: Sixth International Conference, Rome: 152. doi:10.1142/9789812774262_0020. Diakses pada 10 September 2007. "Hyoid bones are very rare as fossils, as they are not attached to the rest of the skeleton, but one Neanderthal hyoid has been found (Arensburg et al., 1989), very similar to the hyoid of modern Homo sapiens, leading to the conclusion that Neanderthals had a vocal tract similar to ours (Houghton, 1993; Bo¨e, Maeda, & Heim, 1999).".
  130. ^ a b Klarreich, Erica (April 20, 2004). "Biography of Richard G. Klein". Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 101 (16): 5705–5707. doi:10.1073/pnas.0402190101. PMID 15079069. PMC 395972. Diakses pada 10 September 2007.
  131. ^ Klein, Richard G.. "Three Distinct Human Populations". Biological and Behavioral Origins of Modern Humans. Access Excellence @ The National Health Museum. Diakses pada 10 September 2007.
  132. ^ Schwarz, J. http://uwnews.org/article.asp?articleID=37362
  133. ^ Wolpert, Lewis (2006). Six impossible things before breakfast, The evolutionary origins of belief. New York: Norton. hlm. 81. ISBN 0-393-06449-2.
  134. ^ Krause (2007). Current Biology 17 (21). doi:10.1016/j.cub.2007.10.008. PMID 17949978. http://www.cell.com/current-biology/abstract/S0960-9822%2807%2902065-9.
  135. ^ Minkel, J. R. (2007-07-18). "Skulls Add to "Out of Africa" Theory of Human Origins: Pattern of skull variation bolsters the case that humans took over from earlier species". Scientific American.com. Diakses pada 9 September 2007.
  136. ^ Klein, Richard. "Three Distinct Populations". Diakses pada 10 November 2007. "You've had modern humans or people who look pretty modern in Africa by 100,000 to 130,000 years ago and that's the fossil evidence behind the recent "Out of Africa" hypothesis, but that they only spread from Africa about 50,000 years ago. What took so long? Why that long lag, 80,000 years?"
  137. ^ Wade, Nicholas. "Early Voices: The Leap to Language ", (The New York Times), 15 Juli 2003. Diakses pada 10 September 2007.
  138. ^ Sverker, Johansson. "Origins of Language — Constraints on Hypotheses" (PDF). Diakses pada 10 September 2007.
  139. ^ Lindsay, Robert (1728). The history of Scotland: from 21 February 1436. to March, 1565. In which are contained accounts of many remarkable passages altogether differing from our other historians; and many facts are related, either concealed by some, or omitted by others. Baskett and company. hlm. 104.
  140. ^ Linguistics 201: First Language Acquisition
  141. ^ "A Linguistic Big Bang ", The New York Times.

Referensi

Bacaan lebih lanjut

  • Botha, R. and C. Knight (eds) 2009. The Prehistory of Language. Oxford: Oxford University Press.
  • Botha, R. and C. Knight (eds) 2009. The Cradle of Language. Oxford: Oxford University Press.
  • Burling, R. 2005. The Talking Ape. How language evolved. Oxford: Oxford University Press.
  • Christiansen, M. and S. Kirby (eds), 2003. Language Evolution. Oxford: Oxford University Press.
  • Christiansen, M. and S. Kirby (eds), 2003. Language Evolution. Oxford: Oxford University Press.
  • de Grolier, E. (ed.), 1983. The Origin and Evolution of Language. Paris: Harwood Academic Publishers.
  • Dessalles, J-L., 2007. Why We Talk. The evolutionary origins of language. Oxford: Oxford University Press.
  • Deutscher, G. 2005. The Unfolding of Language. The evolution of mankind’s greatest invention. London: Random House.
  • Dunbar, R. I. M. 1996. Grooming, Gossip and the Evolution of Language. London: Faber and Faber.
  • Dunbar, R. I. M., C. Knight and C. Power (eds), 1999. The Evolution of Culture. An interdisciplinary view. Edinburgh: Edinburgh University Press.
  • Fitch, W. T. 2010. The Evolution of Language. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Harnad, S. R., H. D. Steklis and J. Lancaster (eds), 1976. Origins and Evolution of Language and Speech. New York: Annals of the New York Academy of Sciences.
  • Hockett, C. F. 1960. The origin of speech. Scientific American 203(3): 89-96.
  • Hrdy, S. B. 2009. Mothers and others. The evolutionary origins of mutual understanding. London and Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press.
  • Hurford, J. R. 2007. The Origins of Meaning. Language in the light of evolution. Oxford: Oxford University Press.
  • Hurford, J. R., M. Studdert-Kennedy and C. Knight (eds), 1998. Approaches to the Evolution of Language. Social and cognitive bases. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Knight, C., M. Studdert-Kennedy and J. R. Hurford (eds), 2000. The Evolutionary Emergence of Language. Social function and the origins of linguistic form. Cambridge: Cambridge University Press.
  • Lenneberg, E. H. 1967. Biological Foundations of Language. New York: Wiley.
  • Leroi-Gourhan, A. 1993. Gesture and Speech. Trans. A. Bostock Berger. Cambridge, MA: MIT Press.
  • Lieberman, P. 1991. Uniquely Human. The evolution of speech, thought and selfless behavior. Cambridge, Mass.: Harvard University Press.
  • Lieberman, P. 2006. Toward an Evolutionary Biology of Language. Cambridge, MA: Harvard University Press.
  • MacNeilage, P. 2008. The Origin of Speech. Oxford: Oxford University Press.
  • Maynard Smith, J. and D. Harper 2003. Animal Signals. Oxford: Oxford University Press.
  • Tallerman, M. and K. Gibson (eds), 2012. The Oxford Handbook of Language Evolution. Oxford: Oxford University Press.
  • Tomasello, M. 2008. Origins of Human Communication. Cambridge, MA: MIT Press.
  • Zahavi, A. and A. Zahavi 1997. The Handicap Principle. A missing piece in Darwin's puzzle. New York and Oxford: Oxford University Press.